Kamis, 30 Mei 2013

kitab suci tripitaka

Disusun Oleh Dede Ardi

A.  PENDAHULUAN
Setiap agama pasti memiliki sesuatu yang dikategorikan sebagai ‘kitab suci’. Kitab suci merupakan salah satu unsur penting di dalam sebuah agama. Karena dari kitab suci itulah kita dapat mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan agama yang bersangkutan, seperti konsep ketuhanan, ajaran, ritual-ritual peribadatan, hukum dan peraturan, dan banyak lagi yang lainnya. Selain sebagai unsur, kitab suci juga dapat dikatakan sebagai ‘jendela’ yang bisa digunakan untuk melihat lebih jauh sebuah agama. Banyak ahli yang dapat mengetahui dan memahami sebuah agama secara mendalam hanya dengan mengkaji kitab sucinya. Dari sini kita bisa melihat betapa pentingnya peran sebuah kitab suci dalam sebuah agama.

Terlepas dari benar atau salahnya suatu hal yang terdapat di dalam sebuah kitab suci, kita tidak bisa memungkiri bahwa dari situlah sebenarnya agama terbentuk. Permasalahan mengenai suatu kitab suci itu merupakan ‘wahyu’ Tuhan atau hanya ‘buatan’ manusia, tidaklah seharusnya menjadi persoalan yang harus kita kaji. Karena terkadang masing-masing agama tertentu memiliki penjelasan tertentu berkaitan dengan pengertian kitab suci tersebut. Hal ini menyebabkan pengertian kitab suci menurut agama yang satu berbeda dengan pengertian kitab suci menurut agama yang lain.

Sebagai contoh, kitab suci agama Buddha. Dalam agama Buddha tidak ada pengklaiman bahwa kitab suci mereka merupakan ‘wahyu’ Tuhan, karena agama Buddha sendiri tidak secara khusus membahas dan mengajarkan konsep ketuhanan. Dalam agama Buddha hanya diajarkan bahwa semua yang terdapat dalam kitab suci mereka merupakan perkataan-perkataan dari sang Buddha Gautama yang berbentuk khotbah, keterangan, peraturan, syair, percakapan sang Buddha dengan siswanya, dan lain-lain. Sang Buddha sendiri hanya seorang manusia yang kemudian mendapatkan ‘pencerahan’, sehingga menjadi suci. Perkataan-perkataan yang dianggap suci ini kemudian dikumpulkan dan dijadikan kitab suci.
Pembentukan kitab suci ini tidaklah singkat. Perkataan-perkataan tersebut tentu tidak langsung berbentuk tulisan. Karena sekitar empat abad, agama Buddha hidup dari ‘tradisi’ yang diteruskan secara lisan oleh pemimpin-pemimpin agama Buddha yang hidup pada  abad-abad pertama yang kemungkinan merupakan siswa dan pengikut sang Buddha. Kemudian dilakukanlah pengumpulan-pengumpulan tradisi yang diteruskan secara lisan tadi, seperti khotbah-khotbah, kata-kata mutiara, syair, cerita-cerita, peraturan-peraturan, dan lain-lain. Pengumpulan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok yang dikenal sebagai ‘pitaka’, yang secara bahasa berarti ‘keranjang’. Tiga kelompok pitaka yang berhasil dikumpul itu terdiri dari: Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka, Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka[1]. Ketiga ‘pitaka’ inilah yang mereka klaim sebagai kitab suci yang kemudian disebut “Tripitaka”.

Memang ada beberapa poin utama yang seharusnya kita pahami mengenai kitab suci Tripitaka ini, seperti pengertiannya, sejarah penulisannya, kanonisasinya, serta penjelasan mengenai bagian-bagian dari Tripitaka itu sendiri. Namun karena keterbatasan, makalah ini hanya akan membahas mengenai pembagian Tripitaka dan penjelasannya.


B.  KITAB SUCI TRIPITAKA
Ajaran agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak hanya berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya[2]. Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar yang dikenal dengan ‘pitaka’ (keranjang), yaitu Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka, Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka.
a.    Sutra Pitaka
Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu ‘benang’. Benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Setiap khotbah Hyang Buddha seperti kata-kata yang dirangkai menjadi satu dengan indah dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan, tidak acak-acakan serta tidak saling bertentangan, oleh sebab itu khotbah Hyang Buddha disebut ‘sutra’[3]. Sutra-sutra itu dikumpulkan dan disusun menjadi satu disebut Sutra Pitaka.

Sutra Pittaka sendiri berisi dharma (dalam bahasa Pali: dhamma) atau ajaran Buddha kepada muridnya[4]. Kitab Sutra Pitaka juga memuat uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna bagi para bhikku atau biksu dan pengikut yang lain.[5] Kitab ini terdiri atas lima 'kumpulan' (nikaya) atau buku, yaitu:[6]
-       Dighanikaya, Dighanikaya terdiri dari 34 sutra panjang terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajala Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigalovada Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat berumah tangga), Mahasatipatthana Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassana), Mahaparinibbana Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama)
-       Majjhimanikaya, merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah : Ratthapala Sutta, Vasettha Sutta, Angulimala Sutta, Anapanasati Sutta, Kayagatasati Sutta dan sebagainya.
-       Angutaranikaya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipata (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan.
-       Samyuttanikaya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
-       Khuddakanikaya, terdiri atas 15 kitab.
a.  Khuddakapatha, berisi empat teks: Saranattaya, Dasasikkhapada, Dvattimsakara, Kumarapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan Metta Sutta.
b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
c. Udana, merupakan kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga. Kitab ini memuat ucapan-ucapan Sang Buddha yang disabdakan pada berbagai kesempatan.
d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttam hetam bhagava (demikianlah sabda Sang Bhagava).
e. Sutta Nipata, terdiri atas lima vagga : Uraga, Cûla, Maha, Atthaka dan Parayana Vagga. Empat vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam belas sutta.
f. Vimanavatthu, menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan berjasa.
g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari perbuatan-perbuatan tidak baik.
h. Theragatha, kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha. Beberapa syair berisi riwayat hidup para Thera, sedang lainnya berisi pujian yang diucapkan oleh para Thera atas Pembebasan yang telah dicapai.
i. Therigatha, buku yang serupa dengan Theragatha yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.
j. Jataka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu. 
k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Maha-Niddesa. Culla-Niddesa berisi komentar atas Khaggavisana Sutta yang terdapat dalam Parayana Vagga dari Sutta Nipata; sedang Maha-Niddesa menguraikan enam belas sutta yang terdapat dalam Atthaka Vagga dari Sutta Nipata.
l. Patisambhidamagga, berisi uraian skolastik tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci. Buku ini terdiri atas tiga vagga : Mahavagga, Yuganaddhavagga dan Paññavagga, tiap-tiap vagga berisi sepuluh topik (katha).
m. Apadana, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.
n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
o. Cariyapitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 paramî yang dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariya.


Kitab Sutra Pitaka ini juga tidak hanya memuat ucapan-ucapan Buddha Gautama saja melainkan ucapan para thera semasa hidupnya, dan juga riwayat hidup dari para bhikku dan bhikkuni. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah kitab Dhammapada yang mengutarakan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Buddha dan cara yang diajarkannya untuk menyembuhkan penyakit yang terdapat dalam diri manusia. Buku ini terdiri atas 423 syair dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain Dhammapada juga ada kitab Udana yang berisi ucapan-ucapan Buddha yang disampaikan pada berbagai kesempatan, theragata yang merupakan kumpulan syair yang disusun oleh para thera semasa Buddha masih hidup. Beberapa syair berisi riwayat hidup para thera, dan lainnya berisi pujian yang diucapkan para thera atas pembebasan yang telah mereka capai. Riwayat hidup Buddha yang terdahulu dan kehidupan dari 25 Buddha lainnya juga diceritakan dalam Sutranikaya ini, terutama kitab-kitab Jataka, Apadana, Buddhavamsa, dan Cariya Pitaka.[7]

b.   Vinaya Pitaka
Winaya Pittaka berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib, dan sebagainya[8]. Selain itu, kitab suci Vinaya Pitaka ini juga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikku dan Bhikkuni.[9]  dan terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan Parivawa[10].
-       Kitab Sutra Vibanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai.  Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
-       Kitab Khandaka terbagi atas Mahavagga dan Cullavagga. Kitab Mahavagga berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Patimokkha (peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavarana), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan. Sedangkan Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon bhikkhu (samanera), pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di Rajagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali
-       Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan Vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.

Skema umum isi Vinaya Pitaka[11]:
-        Bagian yang berhubungan dengan Pratimoksa atau Patimokha, yaitu peraturan-peraturan untuk para biksu atau bikkhu yang dinamakan ‘bagian bhikku’ (bhikku vibhanga).
-       Bagian yang sama untuk para bhikkuni.
-       Suatu bagian yang dinamakan ‘khandhaka’ (kelompok), tiap-tiap kelompok berhubungan dengan suatu aspek khusus mengenai kehidupan dari sangha, seperti pentahbisan, upasattha, memenuhi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pakaian, jubah, obat-obatan, makanan, tempat tinggal, dan lain sebagainya.


c.    Abbidharma Pitaka
Abidharma atau abhidhamma adalah susunan ceramah dan perkembangan logika tentang dharma dari ajaran Hyang Buddha, membahas filsafat dan metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata Buddha Dharma, dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan Abidharma Pitaka[12]. Sehingga Abbidharma Pitaka berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat dan tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain sebagainya[13].

Abbidharma Pitaka juga berisi uraian filsafat Buddha-dharma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang seperti ilmu jiwa, sastra, logika, etika, dan metafisika. Kitab ini terdiri dari 7 buah buku, yaitu: Dhammasangani, Vibhanga, Dathukatha, Puggalapannatti, Kathavatthu, Yamaka, dan Patthana. Berbeda dengan kitab Sutra Pitaka dan Vinaya Pitaka yang menggunakan bahasa naratif, sederhana dan mudah dimengerti umum, gaya bahasa kitab Abbidharma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis[14]. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu :
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhajaniya, Abhidhannabhajaniya dan Pññapucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhatukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikaya. 
5. Kathavatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (katha) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika. 
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya. 
7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).

Namun, selain pengelompokan di atas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kitab-kitab Sutra dan kitab-kitab Sastra. Kitab Sutra adalah  kitab-kitab yang dipandang berisi ucapan Buddha sendiri meskipun ditulis jauh sesudah ia meninggal dunia, sedangkan kitab Sastra adalah uraian-uraian yang ditulis oleh para tokoh yang ternama. Uraian-uraian tersebut biasanya disusun secara sistematis[15].

Menurut aliran Hinayana yang dianggap sebagai kitab-kitab Sutra ialah kitab-kitab yang dulu dikumpulkan pada Muktamar Buddhis pertama, sekitar tahun 383 S.M. Dan semua kitab yang muncul setelah itu tidak diakui keasliannya. Namun, berbeda dengan Hinayana, aliran Mahayana berpendapat bahwa kitab-kitab Sutra yang muncul setelah Muktamar pertama pun dipandang asli dan diyakini diucapkan oleh sang Buddha sendiri.


Dengan demikian, berkaitan  dengan kitab suci Tripitaka yang merupakan sumber ajaran agama Buddha seperti yang telah diterangkan  di atas, ada dua pandangan yang beda, yakni antara golongan Theravada dan Mahayana. Golongan pertama menganggap bahwa kitab Tripitaka yang dikumpulkan pada Pasamuan Agung yang pertama tahun 483 S.M. saja yang dapat dianggap sebagai ajaran yang diajarkan sendiri oleh Buddha, sedangkan golongan Mahayana selain menerima Tripitaka sebagai sumber ajarannya juga menjadikan kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai sumber ajarannya. Kitab-kitab tersebut antara lain adalah Karandavyriha, Sukhavatiyuha, Lalitavistara, Mahayanacradhautpada, Saddharmapundarika, Madyamika-sutra, Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain-lain[16].

C.    PENUTUP
Dari paparan di atas, sekiranya teranglah bahwa memang suatu agama akan memiliki pandangan khusus mengenai kitab sucinya. Pandangan itu memang tidak akan sama, namun demikianlah kitab suci sebagai unsur penting agama ditempatkan dalam agama. Agama Buddha dengan pandangan sendiri, menempatkan Tripitaka sebagai kitab suci yang didalamnya memuat ‘perkataan-perkataan’ sang Buddha Gautama di tempatkan pada kedudukan khusus. Kitab suci ini memang memiliki sejarah yang tidak singkat, di mulai dengan di hafal secara lisan oleh siswa-siwa dan pengikut sang Buddha, dikumpulkan oleh para pemuka-pemuka agama saat itu, ditulis dan dibentuk sehingga menjadi sebuah ‘kitab’, dan selanjutnya kemudian di kanosisasikan.

Kitab suci Tripitaka milik agama Buddha ini tidak serumit seperti halnya kitab suci milik agama Hindu. Tripitaka hanya terdiri dari tiga kelompok -yang disebut ‘keranjang’ (pitaka)- yang didalamnya juga terbagi lagi ke dalam bagian-bagian yang lebih spesifik.






D.  DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman. 1983. Antropologi Agama. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Hadiwijono, Harun. 2010. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Romdhon, dkk. 1988. Agama-Agama di Dunia. Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
T., Suwarto. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Www.google.com



[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), h. 63
[2] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, (Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 112

[3] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 844
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[5] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1983), h. 215
[6] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112

[7] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[8] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha. h. 63
[9] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, h.214
[10] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112
[11] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. h. 843
[12] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. h. 844
[13] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[14] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113
[15] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 64
[16] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 113

vidio buddha


Kamis, 23 Mei 2013

poto kerejaan buddha di india














Rabu, 22 Mei 2013

buddhisme di jepang dan alirannya


disusun oleh Anto Suyanto
A.    Buddisme di Jepang dan Sejarah Perkembanganya
B.     Sejarah Buddhisme di Jepang
Agama Buddha masuk ke Jepang diperkirakan pada abad ke-6. ketika sebuah kerajaan kecil di Korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di samping membawa hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha. Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan mereka, terutama para dewa mereka[1].
Tokoh utama dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah Pangeran Shotoku Taishi (547-621 M) yang naik tahta pada 593 M yang peranannya dalam agama Buddha dapat disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menjadikan agama Buddha sebagai agama Negara, dan ia juga menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti, dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga hari ini. Pada tahun 607 M, ia mendirikan kuil-kuil di Nara dan Haryuji yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri sampai sekarang.
Kemudian, pada periode pemerintahan Nara yaitu pada tahun 710-884 M, agama Buddha mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena banyak suku dan bangsawan berpengaruh dan memeluk agama Buddha. Pada periode ini muncullah enam sekte. Seperti yang telah disebutkan di atas, namun yang masih bertahan hanyalah sekte Hosso yang berpusat di kelenteng Kofukuji dan Yakushiji, serta sekte Kegon yang berpusat di kelenteng Todaiji dan sekte Ritsu yang berpusat di kelenteng Toshodaiji.[2] Pada zaman Kamakura mulai timbul feodalisme di Jepang. Aliran-aliran agama Buddha yang tumbuh dalam suasana feodalisme tersebut di antaranya adalah Zen yang diperkenankan oleh Eisai (1141-1215), Dogen (1200-1253) serta Nichiren yang didirikan oleh Nichiren (1222-1282).



C.    Aliran-Aliran Buddisme di Jepang

1.      Aliran Zen

Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana.Kata Zen berasal dari bahasa Jepang.Sedangkan bahasa Sansekerta nya, Dhyana.Di Cina dikenal sebagai Chan yang berarti meditasi.Aliran Zen memberikan fokus pada meditasi untuk mencapai penerangan atau kesempurnaan. Aliran Zen dianggap bermula dari Bodhidharma. Ia berasal dari India dan meninggalkan negaranya menuju ke tiongkok, lalu berdiam di kanton pada tahun 520 M Bodhidarma itulah yang menjadi Imam pertama di tiongkok. Aliran Zen asli kemudian diteruskan sampai ke generasi ke-6 Hui Neng.Setelah itu aliran Zen berpencar di Tiongkok, dan Jepang.
Di Tiongkok (China) madzhab Mahayana berbenturan dengan Taoism dari Lao Tze (604-531 SM), dan dengan Cofucianism dari Kong Fu Tze (551-479), dan di Jepang berbenturan dengan Shintoism, dan perbenturan itu menimbulkan saling-pengaruh di dalam sejarah perkembangan aliran-aliran Mahayana di Tiongkok dan di Jepang.[3]
Mahayana pertama kali diperkenalkan ke Jepang lewat Korea, ketika raja Kudara mengirimkan Kitab-kitab dan Arca-arca Budhis kepada Kaisar Jepang pada mulanya agama baru ini ditentang, akan tetapi lambat laun diterimaSejak tahun 552 Masehi Buddhisme telah masuk ke Jepang dari Korea dan Tiongkok Ajaran-ajaran Budhisme dapat tersiar di jepang dengan cepat setelah timbul anggapan bahwa dewa-dewa Buddhisme dapat dipersamakan dengan dewa-dewa Shintoisme. Sebenarnya ada dua pendirian dalam Budhisme Jepang ini yaitu di satu  pihak ingin mencapai kelepasan dengan usaha sendiri. Pendirian inilah yang disebut Zen Budhisme, Sedang dipihak lain ingin melepaskan diri atas dasar kepercayaan bahwa kelepasan itu dapat ditolong oleh yang maha gaib (dewa-dewa). Pengikut Zen, berusaha mencapai ilham tertinggi dengan kontemplasi (latihan-latihan rohaniah yang mendalam) Untuk itu orang yang berkontemplasi harus dapat mendisiplinir diri serta memiliki ketenangan batin setinggi-tingginya[4]
Mahakasyapa mentransmisikan jiwa Dharma kepada Ananda, yang telah menjadi siswa langsung Sang Buddha selama dua puluh tahun kehidupannya di dunia.Ananda meneruskannya kepada Sanakavasa, muridnya dan seterusnya. Dari mahakasyapa di abad ke-5 SM hingga kepada Bodhidharma di abad ke-6 M, transmisi ini dilanjutkan dalam satu garis guru-guru spiritual, sebagian kurang dikenal dan sebagian lagi merupakan nama-nama paling top dalam sejarah agama Buddha di India. Daftar nama-nama guru ini, yang secara tradisional dikenal sebanyak Dua Puluh Tujuh Dua Puluh Delapan dengan Bodhidharma Sesepuh Zen dari India adalah sebagai berikut : Mahakasyapa, Ananda Sanakavasa Upagupta Dhritaka Michchaka Vasumitra Buddhanandi Buddhamitra Parshva Punyayashas Ashvaghosha Kapimal Nagarjuna Kanadeva Rahulata Sanghanandi Gayasata Kumarata Jayata Vasubandhu Monorhita Haklena Aryasimha Basiasita Punyamitra Prajnatara dan Bodhidarma.
Studi dafta ini mengungkapkan hubungan yang sangat dekat antara Zen dan apa yang dikenal sebagai tradisi pusat Agama Buddha India. Dialah Bodhidharma yang termahsyur, sesepuh kedua puluh delapan dari India—yang dalam lukisan kuno digambarkan sebagai seorang yang menyebrangi lautan dengan daun bambu—yang membawa Zen ke Cina, dengan sendirinya menjadi sesepuh pertama dari Cina. Apa yang ia bawa ke Cina bukanlah Zen dalam bentuk seperti yang kita kenal saat ini bersama dengan doktrin-doktinnya, kitab suci, dan organisasi viharanya, melainkan semangat atau jiwa yang ia turunkan kepada muridnya Hui Ko, yang kemudian menurunkannya pada muridnya lagi hingga sesepuh  yang ke-6. Master-master ini dikenal sebagai Enam Sesepuh Aliran Zen dari Cina, Yakni :
1.         Bodhidharma (lahir sekitar 440 - meninggal sekitar 528)
2.         Hui K`o (lahir 487 - meninggal 593)
3.         Jianzhi SengTs`an (meninggal 606)
4.         Dayi Tao Hsin(lahir 580 - meninggal 651)
5.         Hung Jen (lahir 601 - meninggal 674)
6.         Hui Neng / Wei Lang(lahir 638 - meninggal 713)
            Karena kejeniusan Hui Neng, ia mengajarkan kembali kepada 43 orang. Sesudah itu banyak sekali garis transmisi, namun ada dua diantaranya yang sangat berperan hingga sekarang.Kedua garis keturunan ini diwakili oleh aliran Sotodan aliran Rinzai.[5]
            Aliran Chan / Zen itu bersikap agak bebas terhadap mempelajari berbagai Mahayana-Sutras, tidak hendak mengikatkan diri kepada Sutras tertentu.Begitupula terhadap berbagai aliran filsafat dan theogoni didalam madzhab Mahayana.Bahkan tidak hendak memperbincangkannya secara serius.Aliran ini lebih mengutamakan pendekatan secara kerohanian (intuitif) untuk mencapai kesadaran tertinggi.
Sifat kepribadian pada aliran Zen itu amat kuat hingga kurang menaruh hormat terhadap patung-patung pujaan.Dengan begitu aliran ini dapat dikatakan bersifat iconoclastic, yakni menantang pemujaan patung-patung berhala itu, karena pujaan-pujaan lahiriah itu tidak membawa kepada tujuan tertinggi.
Titik berat ajaran ini lebih mengutamakan disiplin, yakni : ketaatan dan kidmat yang sepenuh-penuhnya kepada sang guru, Cuma sang guru saja resmi dan pasti dapat menuntun seseorang murid kepada pencerahan dan kebenaran, guna mencapai kepribadian-Budha. Karena aliran ini berkeyakinan bahwa kepribadian Budha itu hidup membenam dalam diri manusia, dan melalui renungan di dalam Samadhi, maka kepribadian-Budha itu dapat dilihat. Samadi yang dilakukan terbagi menjadi dua yaitu[6] :
§  Tathagatha-Meditation, yaitu cara Samadhi dari Buddha Gautama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan.
§  Patriarchal-Meditation, yaitu cara Samadhi yang diajarkan Patriarch Bodhidharma, yaitu meniadakan pikiran dan memusatkan kesadaran rohani bagi mencapai kepribadian-Budha.
Menurut aliran ini, bukanlah dengan kepercayaan yang dapat membawa manusia identik dengan Budha, melainkan dengan tafakkur yang dalam.Aliran ini berfaham Pantheistis (kesatuan dewa dengan alam semesta).Manusia dapat menjadi identik (sama) dengan Budha bilamana ia melakukan Meditasi yang dalam berdasarkan intuisi. Meditasi demikian kemudian dipengaruhi oleh Taoisme. [7] Meditasi adalah latihan yang diterima secar universal oleh semua filsuf, orang suci, dan petapa India dan Budha tidak memiliki alasan untuk menolaknya.Sebenarnya praktik meditasi merupakan salah satu ciri kebudayaan moral di Timur.[8]
        Dalam perkembangannya, Zen di Jepang terbagi dalam aliran Soto Zen dan Rinzai Zen. Aliran Soto mengembangkan ajaran pencerahan yang hening.Ciri aliran ini adalah ketenangan, menekankan kerja dalam keheningan serta kepatuhan. Metode yang dilakukan untuk mencapai ketenangan adalah melalui Za-zen, yaitu meditasi dalam posisi duduk bersila.
        Aliran Rinzai berusaha mencapai penerangan dengan menggunakan penerangan cara Koan dan Mondo. Koan dan Mondo merupakan usaha untuk mencapai penerangan secara aktif.Aliran ini sifatnya lebih dinamis dan aktif dibanding aliran Zen.[9]Koan adalah suatu problem semacam teka-teki, kecuali untuk pikiran yang sadar koan biasanya terdiri dari satu kata atau frasa tanpa arti, atau sebyah pernyataan yang tampaknya nonsense dari sudut pandang umum.Namun koan bertindak sejenis cantelan yang dengan itu pikiran dapat terkait sendiri sejenis cantelan yang dengan itu pikiran dapat terkait sendiri sehingga dapat menyisihkan pemikiran-pemukiran yang ngawur dan pertimbangan-pertimbangan intelektual. Contoh-contoh koan yang diberikan kepada para pemula adalah Mu, yang secara literal berarti “tidak ada apa-apa”, Sekishu, yang berarti “suara satu tangan”, soku shin souk butsu, artinya “satu pikiran, satu budha” Honrai-nomemmoku “bagaimana wujud aslimu sebelum ayah dan ibumu memperanakkan kamu?” dan Nanimono ka immoni kitaru?, yang berarti “darimana Anda datang?[9]
2.      Aliran Amida
Sekte Amida, atau sering disebut dengan nama ‘Tanah Suci’, mengemukakan ajaran keselamatan dengan cara mempercayai Buddha secara mutlak dan menyebut Amida, seseorang yang akan mendapat keselamatan. Objek pemujaannya adalah patung Amida Buddha serta dilengkapi dengan patung Bodhisatwa Kwan On dan patung Deiseishi.
Kita mengenal adanya Amitabha Buddha berdasarkan sabda Sakyamuni Buddha yang tercatat didalam beberapa kitab suci, antara lain : Amitayurdhyana Sutra, Maha Sukkhavativyuha Sutra, Sukhavativyuha Sutra, dan sutra-sutra lainnya. Ketiga sutra ini adalah sutra pokok bagi agama Buddha Mahayana aliran Tanah Suci (Pure Land).
Amitabha/Amitayus Amita Buddha mengandung falsafah beliau yang telah mengatasi ruang dan waktu, juga merupakan lambang dari cinta kasih, berkah karunia dan kebijaksanaan yang tak terbatas. Didalam Maha Sukhavativyuha Sutra dikatakan bahwa sebelum menjadi Buddha Amitabha, dulunya beliau adalah seorang bhiksu bernama Bhiksu Dharmakara, yang hidup dijaman Buddha Loke vara-raja, dimana Bhiksu Dharmakara telah mengikrarkan 48 prasetya agung/janji suci tentang negeri Buddha-Nya yang akan terwujud apabila Dia mencapai penerahan sempurna (Amuttara Samyaksambodhi).
Dari sabda Sakyamuni Buddha kita mengetahui bahwa Bhiksu Dharmakara telah mencapai pencerahan sempurna, dikenal sebagai Amitabha Buddha) dan surganya bernama Sukhavati (Kebahagiaan Yang Terluhur) atau disebut juga Tanah Suci yang letaknya di sebelah barat dari dunia saha.Berdasarkan kenyataaan ini, Sakyamuni Buddha memberikan rekomendasi kepada umat manusia untuk memuja-Nya dan bertekad untuk bertumimbal lahir di Surga Sukhavati. Didalam Vihara aliran Sukhavati, dijumpai gambar/rupa amitabha Buddha yang diapit oleh bodhisattva Avalokitesvara di sebelah kirinya dan Bodhisattva Mahasthamaprata di sebelah kanannya, kadang-kadang dilukiskan pula bersama-sama dengan 25 Bodhisattva Mahasattva pengikutnya[10].
3.      Aliran Nichiren Sozu
Agama Buddha menyebar dari India ke Tiongkok, lalu ke Korea, dan dari Korea lalu masuk ke Jepang. Berbeda dengan agama lain, agama Buddha sangat terbuka alias terus terang mengungkapkan dasar pokok pendirian sektenya, atau alasan Buddhaloginya. Dalam terminologi buddhisme dinamakan dasar sutra. Sutra adalah catatan tertulis dari ajaran sang Buddha Sakyamuni, dan jumlahnya mencapai puluhan ribu buah. Secara logika tentunya teramat sulit untuk mengetahui apa lagi memahami dan menguasai semua sutra-sutra itu. Sehingga secara aktual penganut awan Buddhisme biasanya mengacu kepada Bhikku sebagai guru dharma pribadi masing-masing. Setelah Sang Buddha Sakyamuni meninggal, Air Dharma diwariskan kepada Ananda, dan Ananda mewariskan kepada penerus-penerus berikutnya antara lain Nagarjuna, Vashubandu, Tien Tai, Dengyo dan seterusnya. Kalau dilihat dari dasar buddhalogi, Nichiren Shoshu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, serta Sastra Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, karya maha guru Tien Tai, maha guru Mio Lo, maha guru Dengyo.

Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte di berbagai kuil, maka beliau berkesimpulan hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan sebagai ajaran terpokok dari Buddha Sakyamuni yang bisa menyelamatkan umat manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sejak itu beliau menyebut diri Nichiren.

Yang bertujuan untuk mengembalikan ajaran Budha kepada bentuk yang murni yang akan menjadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat jepang, dan menolak ritualisme dan sintementalisme aliran tanah suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tetapi eksklusif[11]

2.      Ajaran Dasar Nichiren Daishonin

Nichien Daishonin melakukan pembaharuan yang radikal terhadap ajaran-ajaran dari seluruh sekte yang ada, kecuali pada sekte Tendai, ia tidak menolak ajarannya secara keseluruhan. Karena alirannya memang baerdasar dari ajaran Buddha Sakyamuni melalui jalur sekte Tientai.

a.       Tiga Hukum Rahasia Agung (San dai hi ho), yakni dengan mengucapkan mantra Tiga Hukum Rahasia Agung dimulai dalam “Jangka Waktu Hidup Tathagata,” Bab XVI
Saddharma Pundarika Sutra. Diantaranya adalah[12]:

1.      Honmon no Honzon adalah Yang Patut Dimuliakan, kita harus memuja Buddha Sakyamuni Abadi, yang telah menyelamatkan semua mahluk dari penderitaan dan ikatan siklus lingkaran kelahiran dan kematian. Dalam Bab XVI Saddharma Pundarika Sutra, Buddha Sakyamuni membabarkan bahwa hanya Ia seorang Buddha yang telah mencapai Penerangan Agung sejak masa lampau yang tak terhingga (Kuon Ganjo). Selanjutnya Ia menjelaskan bahwa hanya ia yang dapat menyelamatkan, dan terus menyelamatkan, dan juga akan menyelamatkan seluruh umat manusia dan mahluk hidup lainnya pada masa mendatang.

2.      Honmon no Daimoku adalah "Myo-Ho-Ren-Ge-Kyo," Judul Suci dari Saddharma Pundarika Sutra yang mengungkapkan Kebenaran yang belum pernah diungkapkan sebelumnya dalam sutra-sutra lainnya. Odaimoku atau Judul Suci itu telah diwariskan kepada kita sebagai Bodhisattva Muncul Dari Bumi. Kita menerima, memelihara, mempercayainya, dan menyebut Odaimoku. Odaimoku adalah penghubung antara Buddha Abadi dan mereka yang menyebutnya.

3.      Honmon no Kaidan adalah tingkatan atau tempat dimana hubungan antara Buddha (Subjek) menyatu dengan umat manusia (Objek).








DAFTAR PUSTAKA
Ø Beatrice Lane Suzuki. Agama Budha Mahayana (Karaniya : 2009)
Ø Harun Hadiwijono, Dr. “Agama Hindu Buddha” (Jakarta: Gunung Mulia, 2008)
Ø Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: wijaya, 1989.
Ø HM. Arifin.Menguak Misteri Ajaran Agama-agama, (Jakarta : 1986)
Ø Joesoef Sou`yb, Agama-agama Besar di Dunia, (Al Husna Zikra : 1996)
Ø Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,1988
Ø Y.A Maha Sthavira Sangharakshuta, ZEN : Inti Sari Ajaran (Yayasan Buddhis Karaniya : 1991)
Ø http://www.oocities.org/sutra_online/bacaan_sukhavati.htm
Ø www.nshi.org. YM.Bhiksu. Shokai Kanai, Tiga Hukum Rahasia Agung (San Dai Hi Ho), PERHIMPUNAN BUDDHIS NICHIREN SHU INDONESIA





[1] Harun Hadiwijono, Dr. “Agama Hindu Buddha” (Jakarta: Gunung Mulia, 2008) hal 69.
[2]  Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: wijaya, 1989. H 72
[3]  Joesoef Sou`yb, Agama-agama Besar di Dunia, (Al Husna Zikra : 1996) hal. 109-110
[4]  HM. Arifin.Menguak Misteri Ajaran Agama-agama, (Jakarta : 1986) hal. 116
[5]Y.A Maha Sthavira Sangharakshuta, ZEN : Inti Sari Ajaran (Yayasan Buddhis Karaniya : 1991) hal. 32-37
[6] So'yb, Joesoef. Op.Cit., h. 121-124
[7] HM. Arifin Op.Cit., h. 115
[8]  Beatrice Lane Suzuki. Agama Budha Mahayana (Karaniya : 2009). h. 12
[9]  Beatrice Lane Suzuki. Op.Cit., h.  99
[10]  http://www.oocities.org/sutra_online/bacaan_sukhavati.htm
[11]  Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, Yokyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,1988, h. 142
[12]  www.nshi.org. YM.Bhiksu. Shokai Kanai, Tiga Hukum Rahasia Agung (San Dai Hi Ho), PERHIMPUNAN BUDDHIS NICHIREN SHU INDONESIA