Sabtu, 01 Juni 2013

hukum kasunyatan

disusun Oleh martia awalia
1. Kehidupan Masyarakat India Pra-Buddha



Agama Buddha berasal dari India bagian utara diajarkan oleh Buddha Sakyamuni. Beliau juga dikenal dengan sebutan Buddha Gautama, Bhagava, Tathagata, Sugata, dan sebagainya. Pada masa kecil, Beliau adalah seorang pangeran, bernama Siddharta. Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 sebelum Masehi, jadi sekitar 2600 tahun yang lalu.




Sebelum lahirnya agama Buddha, masyarakat India telah mengenal berbagai kepercayaan agama. Saat itu terdapat beberapa pandangan hidup di India. Pada periode awal, masyarakat India bercorakkan tradisi pertapaan dengan pertapa-pertapa berambut panjang yang telanjang. Periode berikutnya, masyarakat mengenal upacara-upacara keagamaan dan ritus kurban dari kaum Brahmana.

Selanjutnya, masyarakat India mengenal agama dari kaum Upanishad. Menurut kaum ini, manusia memiliki suatu diri atau jiwa yang kekal. Kebahagiaan kekal hanya dapat diraih jika manusia dapat bersatu dengan alam semesta. Untuk bersatu dengan alam semesta, mereka mengembangkan meditasi yoga.

Pandangan ini mendapat reaksi keras dari kaum materialis. Kaum materialis menganggap bahwa tidak ada jiwa yang kekal. Menurut kaum ini, jiwa tidak lain tidak bukan adalah badan jasmani itu sendiri. Setelah kematian, kehidupan manusia berakhir, tidak ada lagi kehidupan berikutnya. Kebahagiaan kekal itu tidak ada. Kebahagiaan hanya dapat diraih selagi hidup. Mereka yang mengikuti kaum materialis menjalani hidup bersenang-senang untuk menikmati kebahagiaan duniawi.
PENDAHULUAN
Secara historis agama buddha mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya, tapi walaupun demikian agama buddha mempunyai perbedaan dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya,  salah satunya agama hindu. zaman agama buddha dimulai semenjak tahun 500 SM hingga tahun 300 M.[1] Banyak para peminat ilmu agama mempertanyakan apakah agama buddha dipandang sebagai agama, atau hanya salah satu aliran filsafat saja. Sejalan dengan itu edwarad conze menyatakan bahwa buddhisme dapat dianggap sebagai agama dan suatu aliran filsafat. Sebagai agama, buddhisme merupakan suatu bentuk organisasi dari cita-cita yang bersifat spiritual yang menolak adanya unsur kekuasaan duniawi, yang ajarannya mampu memberikan sukses dalam mengatasi dunia dan dalam mencapai keabadian ataupun kehidupan setelah mati. Sebagai suatu aliran filsafat, kata conze, buddhisme bersifat dialektis pragmatis yang bercorak kejiwaan

Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan
Pengertian Hukum kasunyataan
          Hukum Kesunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kesunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku disemua tempat, didalam semua keadaan/kondisi di setiap waktu.
Hukum Kesunyataan berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia. Karena hukum yang dibuat oleh manusia sifatnya tidak kekal dan tidak dapat mengatasi waktu, tempat dan keadaan. Jadi berbeda sekali dengan hukum Kesunyataan yang dibuat oleh sesuatu yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Buddha.[2]

Agama Budha Disebut Agama kesunyataan
Dari uraian diatas, ternyata bahwa agama Buddha adalah sebuah agama Kesunyataan dan bukan agama Kepercayaan. Karena Sang Buddha Gotama mengundang kita untuk membuktikan Kebenaran Ajaran yang telah dibentangkan “ EHIPASSIKO”, yaitu “Datang dan buktikan”.
Kesunyataan (Sanskerta: sunyata), yang merupakan salah satu kebenaran yang paling mendalam di dalam ajaran Buddha, sering disalahpahami. Sunya adalah istilah yang paling tepat, meskipun tidak pas diterjemahkan sebagai ‘kekosongan’. Kesunyataan merupakan kebenaran praktis yang sangat membantu kita dalam kehidupan sehari-hari. Contoh-Contoh Kesunyataan, Sebuah analogi untuk menjelaskan Kesunyataan adalah sebuah sungai. Sebuah sungai tidak sungguh-sungguh eksis karena sungai itu merupakan banyak arus air yang datang dan pergi, yang merupakan penyusunnya. Setiap arus ini tidak substansial, masing-masing tersusun dari kumpulan arus-arus yang lebih kecil lagi di dalamnya. Tidak ada sungai yang substansial atau “riil” yang ada hanya aliran. Kita mengatakan bahwa sungai itu kosong dari sifat nyata yang pasti inilah Kesunyataan. Segala sesuatu di alam semesta (fenomena fisik dan mental) menunjukkan karakteristik Kesunyataan.
Contoh lain adalah sebuah air terjun. Sebuah air terjun yang dilihat dari jauh tampak seperti ujud utuh helaian yang berkilau. Namun, ketika diamati lebih dekat, kita melihat dengan jelas bahwa “helaian” itu tak lain adalah sebuah arus air yang mengalir secara sinambung. Pada hakikatnya, tidak ada “air terjun” yang riil yang ada hanyalah tetes air yang terjun.

Manfaat Menyadari Kesunyataan
Kegelapan batin kita melihat ilusi sebagai sesuatu yang “begitu nyata”. Kita melihat perubahan yang terus-menerus sebagai sesuatu yang tidak berubah dan menjadi melekat pada hal-hal yang tidak substansial. Ketidak-mampuan melihat ketidak-nyataan diri menciptakan penderitaan yang terpusat di sekitar pandangan kita yang salah tentang diri. Tidak ada petunjuk tentang suatu diri yang kekal di dalam segala sesuatu, baik fisik maupun mental. Tidak ada “saya, kamu, milik saya, milik kamu…”. Jika diri disadari sebagai kosong dan tidak nyata, segala perbedaan yang bertentangan akan sirna, semuanya tampak sebagaimana adanya dalam realitas mereka yang telanjang tanpa label-label kosong, penghakiman, atau prasangka.
Kemampuan menerapkan Kesunyataan dalam kehidupan sehari-hari membawa kemudahan dan kebahagiaan yang tak terkira karena kita menjadi terbebaskan dari belenggu kemelekatan. Menyadari Kesunyataan adalah mencapai Kebijaksanaan tentang ketiadaan diri (melihat hakikat tiada inti diri dalam segala sesuatu). Berfungsinya ketiadaan inti diri adalah Welas Asih. Jadi, Kebijaksanaan sejati adalah Welas Asih dan Welas Asih sejati adalah Bijaksana-keduanya saling berkaitan. Kesempurnaan Kebijaksanaan dan Welas Asih membentuk puncak ganda pengembangan spiritual atau Pencerahan.
Jika kita membiasakan diri kita dengan Kesunyataan, secara berangsur-angsur  akan membuka pikiran kita dan membebaskan diri kita dari belenggu ketidaktahuan yang memahami realita secara salah. Pada waktunya, kita akan mengenyahkan segala kegelapan batin, kemarahan, kemelekatan, keangkuhan, iri hati, dan sikap-sikap negatif lainnya dari pikiran kita. Dengan berbuat demikian, kita tidak lagi menciptakan tindakan-tindakan merusak yang termotivasi oleh semua ketidakbaikan itu. Selanjutnya kita akan terbebaskan dari semua masalah. Dengan kata lain, menyadari Kesunyataan mendatangkan Kebahagiaan Sejati.[3]

Sebagai rangkuman, sebuah penerapan praktis Kesunyataan dalam kehidupan sehari-hari adalah:
Hargailah segala sesuatu ( pada saat ini )
karena semuanya adalah sementara;
Janganlah melekat pada segala sesuatu ( pada saat ini )
karena semuanya adalah sementara.

 Cattur Arya Saccani (empat kebenaran mulia)
          Khotbah Hyang Budha Shakyamuni yang pertama kali kepada lima pertapa bekas teman seperjuangannya sewaktu bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela selama enam tahun lamanya. Khotbah pertama kali ini di taman Rusia isipatana, di Mrigadava, Veranasi, atau di kenal dengan nama pemutaran roda dharma yakni mengenai 4 (empat) kesunyataan utama atau kebenaran mulia dan delapan jalan utama atau jalan benar dan suci sebagai jalan tengah.
Empat kesunyataan utama:



1.      Derita (Dukha)
2.      Asal mula derita (Dukha samudaya)
3.      Penghentian derita (Dukha Nirodha)
4.      Jalan menuju penghentian derita (marga)

Penjelasan
Apa itu derita atau penderitaan (dukha) ?
Pengertian dukkha tidak sama dengan penderitaan. Dukkha menunjukkan segala sesuatu yang tidak menyenangkan, tidak memuaskan atau tidak sempurna dan kebalikkan dari apa yang kita harapkan. Sifat kehidupan yang berubah-ubah membuat kita mengalami ketidakpuasan batin, kehilangan dan kekecewaan.
Penderitaaan ini dapat timbul karena : Ketidakpastian (Jabatan, kecantikan, kekayaan dan kehidupan) ; tidak ada kepuasan ; harus berpisah dengan tubuh jasmani berulang kali ; harus terlahir berulang-ulang (Kehilangan kedudukan berulangkali) ; akhir Pertemuan – perpisahaan ; kekayaan – kehancuran ; kelahiran – kematian) dan tidak ada teman (pada saat lahir, meninggal dan menderita)[4]
§  Hidup dalam bentuk apapun di alam samsara ini adalah derita atau penderitaan (Dukha)
§  Penderitaan (Dukha) berarti juga: kesedihan, keluh kesah, sakit atau kesakitan, kesusahan, dan putus asa yang sering di alami oleh jasmani maupun batin kita
§  Dilahirkan, usia tua, sakit, meninggal adalah penderitaan
§  Berhubungan atau berkumpul dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan
§  Berpisah atau ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan
§  Tidak memperoleh apa yang kita inginkan atau tidak mencapai apa yang kita cita-citakan adalah penderitaan,
§  Masih memikul beban tanggung jawab baik dalam hubungan keluarga maupun guru terhadap murid adalah juga penderitaan
§  Masih memiliki lima skandha atau panca skandha yang bekerja aktif adalah juga penderitaan
Panca skandha adalah lima kumpulan penderitaan yang melekat pada jasmani kita yaitu:
1.      Rupa                : bentuk, tubuh, badan jasmani
2.      Sanna              : pencerapan
3.      Sankara           : pikiran, bentuk-bentuk mental
4.      Vedana            : perasaan
5.      Vinnana           : kesadaran

Secara singkat diuraikan kesunyataan yang pertama seperti di atas dan sebagai tambahan bahwa semua kehidupan dengan tidak ada terkecualinya, termasuk dalam panca skandha adalah sesuatu yang menyedihkan dan dicengkeram oleh penderitaan, sesuatu yang tidak kekal, sesuatu yang tidak berpribadi, dan hampa adanya.[5]

Apa itu asal-mula derita atau penderitaan (samudaya)
§  Idaman ini (trsna), yang menuju pada eksistensi yang diperbaharui, ditemani oleh nafsu keinginan rendah (tanha), yang menganbil kesenangan dalam berbagai obyek, dimana sebagai sebab dari kelahiran dan terlahir kembali (tumimbal lahir). Dikarenakan didorong oleh tanha yang sangat kuat sekali pada pikiran, sebagai contoh: keinginan kita untuk memiliki apa yang kita inginkan, atau keinginan untuk melenyapkan semua keadaan yang kita benci atau tidak disukai. Dengan Tanha untuk kenikmatan dan kesenangan duniawi, haus dengan cinta, rakus dengan harta, gila hormat atau khilaf dengan kuasa atau kedudukan dikarenakan kemelekatan, kebodohan atau kegelapan batin (avidya), semua ini menyebabkan asal mula derita.
§  Tanha atau nafsu keinginan rendah yang tiada habis-habisnya. Orang yang pasrah kepada tanha sama saja dengan orang meminum air asin untuk menghilangkan rasa hausnya.
§  Penjelasan tambahan bahwa kesunyataan yang kedua ini, mengajarkan bahwa semua penderitaan, atau dengan kata lain, semua kehidupan dikarenakan keinginan (tanha), dikarenakan nafsu keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha), yang mengakibatkan tumimbal lahir dan penderitaan, yang menjelma sebagai gerak-gerik atau aktivitas dari badan, ucapan atau perkataan, dan pikiran. Tidak dapat mengerti dengan jelas bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah tidak kekal (anitya). Karena itu, kesunyataan yang kedua ini juga termasuk dalam pelajaran karma dan tumimbal lahir, juga sebagai hukum sebab akibat yang saling bergantungan (hukum pratitya samutpada) dari semua lelakon kehidupan.

Apa itu penghentian atau lenyapnya derita atau penderitaan (Nirodha)
§  Nirodha berarti lenyapnya penderitaan yang sama artinya dengan lenyapnya nafsu keinginan rendah (tanha) atau lenyapnya keinginan dari pikiran. Kalau tanha dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan berbahagia sekali, karena telah terbebas dari semua kekotoran batin yakni Loba, Dosa, dan Moha.
§  Kesunyataan ketiga ini mengajarkan tentang lenyapnya sama sekali mengenai “aku” (atta) dan pembebasan diri dari roda samsara atau roda tumimbal lahir dan menuju nirwana.
§  Penjelasan tambahan bahwa kesunyataan yang ketiga ini mengajarkan tentang lenyapnya sama sekali rasa “aku” atau keinginan dari kehidupan, dan semua bentuk khayalan atau idaman yang berhubungan dengan itu, membersihkan segala kekotoran batin dari Loba, Dosa, Moha yang sewajarnya harus ditujukan pada pembebasan dari tumimbal lahir dan penderitaan, yaitu menuju tercapainya nirwana.

Apa itu jalan menuju Lenyapnya atau Penghentian derita (marga)
§  Marga berarti jalan untuk melenyapkan penderitaan, yaitu 8 (delapan) jalan utama (Hasta Arya Marga): pengertian yang benar, pikiran yang benar, perhatian yang benar, konsentrasi yang benar. Jalan beruas delapan ini memberikan petunjuk untuk menuju pembebasan dari penderitaan, dan pula mengandung praktek dari pelajaran Hyang Budha.

1. Pengertian yang benar (samyag-drsti)
          Artinya: suatu pengertian intelektual tentang empat kesunyataan utama atau kebenaran mulia, atau tentang kebenaran nyata dari kehidupan secara umum maupun secara sederhana, memiliki pengertian yang benar mengenai Budha Darma, juga menembusi arti dari tiga sifat universal (atau tiga corak umum dari alam fenomena, skt: Tri-laksana) dan hukum sebab akibat yang saling bergantungan (hukum pratya samutpada), sunyata.
Catatan: pengertian yang benar adalah isyarat dan tanda-tanda yang pertama kali dari karma-karma yang baik.

2. Pikiran yang benar (samyag-samkalpa)
  Artinya: pengertian lainnya adalah kehendak yang benar yang berarti bahwa mempunyai pikiran atau kehendak untuk membebaskan segala ikatan-ikatan Dukha (penderitaan). Pikiran atau kehendak yang demikian haruslah bebas dari segala keserakahan, kebencian, dan keinginan untuk merugikan orang lain dan diri sendiri. Teermasuk juga pikiran yang bebas dari hawa nafsu keduniawian, dan juga bebas dari kekejaman, serta pikiran yang terbebas dari keinginan atau kemauan jahat.

3.  Berbicara yang benar (samyag-vak)
Artinya: pantang untuk berdusta, memfitnah, bercerita yang dapat menyebabkan kemarahan orang lain, kata-kata kasar dan kotor, dan cerita omong kosong dan tidak bertanggung jawab. Termasuk membicarakan atau menjelaskan Budha Darma secara benar bukan dengan unsur sengaja memutarbalikan yang benar menjadikan salah dan sebaliknya. Disebut berbicara yang benar bila dapat memenuhi persyaratan berikut ini: bicara itu yang benar berdasarkan fakta maupun pengalaman sendiri, bicara itu mempunyai manfaatnya, berbicara itu tepat pada waktunya dan tempatnya.

4.  Perbuatan yang benar (samyag-karmanta)
     Artinya: tidak melakukan atau menyuruh melakukan pembunuhan, penyiksaan, pencurian dan perzinahan

5.  Perbuatan yang benar (samyag-ajiva)
Artinya: berarti juga mata pencaharian yang benar, berarti menghindari atau menolak mata pencaharian yang salah dan berusaha untuk hidup yang benar.
Catatan: lima macam mata pencaharian yang salah haruslah dihindari, yaitu penipuan, ketidaksetiaan, penujuman, kecurangan, praktek lintah darat (meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi)
Seorang siswa budha harus pula menghindari lima macam perdagangan, yaitu: bergadang alat senjata, berdagang makhluk hidup, berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiyaan makhluk-makhluk hidup), berdagang minuman alkohol atau menimbulkan ketagihan seperti narkotika, berdagang racun. 

6. Berusaha yang benar (samyag-vyayama)
Artinya: usaha untuk menghilangkan kejahatan yang belum muncul, usaha untuk mengatasi kejahatan dan sifat buruk yang telah muncul, usaha untuk mengembangkan kebaikan dan sifat berguna dari pikiran, dan berusaha memelihara sifat-sifat baik yang telah ada.
Catatan: jadi ada empat macam usaha, yaitu: menghindari, usaha untuk mengatasi, usaha mengembangkan dan usaha untuk memelihara

7. Perhatian yang benar (samyag-smrti)
Artinya: tetap dalam perenungan pada keadaan dari pikiran, perasaan, badan, dengan rajin dan dengan sadar dan penuh pengertian serta menolak kerakusan dan kesedihan duniawi. Contoh: empat perhatian pada perenungan tentang rupa (tubuh), perasaan, kesadaran dan darma
Catatan: samyag-smrti terdiri dari latihan-latihan vipas-yana (yaitu: meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang kehidupan)

8.Konsentrasi yang benar (samyag-smrti)
Artinya: menempatkan pikiran pada suatu perbuatan yang kita ingin lakukan sesuai dengan cara yang benar.
Catatan: memusatkan pikiran pada suatu obyek yang tunggal yang berarti terpusatnya pikiran, inilah yang disebut konsentrasi.
Di dalam arti yang lulus, konsentrasi ada hubunganya dengan kesadaran juga. Di dalam pencerapan rasa ia sangat lemah.
Tambahan penjelasan:
Perenungan tingkat pertama: bila seorang siswa bebas dari perasaan nafsu, bebas dari sesuatu yang tidak baik, ia masuk dalam tingkat ini, tapi masih disertai gelombang pikiran dan renungan, terlahir kebebasan yang mengandung kenikmatan dan kebahagiaan
Perenungan tingkat kedua: bila seorang siswa setelah mengendapnya gelombang pikiran dan renungan, mulailah tercapai ketenangan batin, pikiran  mulai memusat, ia atau siswa tersebut masuk dalam tingkat ini
              Perenungan tingkat ketiga: bila seorang siswa telah dapat melenyapkan kegiuran ia berdiam diri dalam keseimbangan dan kesadaran yang kuat. Ia memasuki tingkat ini.
Perenungan tingkat keempat: bila seseorang siswa akhirnya dapat mengatasi kenikmatan, karena lenyapnya kegembiraan dan kesedihan. Ia memasuki keadaan di atas dari kesenangan dan kesedihan, ia memasuki tingkat keempat ini, yang penuh keseimbangan dan kesadaran inilah yang disebut Samadhi yang benar.

















Daftar Pustaka

Mukti Ali, Agama-agama Di Dunia, (IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988)
Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma (Majelis Buddhayana Indonesia)
Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Palembang 1995) cet 1
























[1] Mukti Ali, Agama-agama Di Dunia, (IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), h. 101
[3] Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma (Majelis Buddhayana Indonesia)  http://tanhadi.blogspot.com/2010/05/kesunyataan.html

[5] Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Palembang 1995) cet 1 hal. 52-53


0 komentar:

Posting Komentar