disusun Oleh martia awalia
1. Kehidupan Masyarakat India Pra-Buddha
Agama Buddha berasal dari India bagian utara
diajarkan oleh Buddha Sakyamuni. Beliau juga dikenal dengan sebutan Buddha
Gautama, Bhagava, Tathagata, Sugata, dan sebagainya. Pada masa kecil, Beliau
adalah seorang pangeran, bernama Siddharta. Pangeran Siddharta dilahirkan pada
tahun 623 sebelum Masehi, jadi sekitar 2600 tahun yang lalu.
Sebelum lahirnya agama Buddha, masyarakat India
telah mengenal berbagai kepercayaan agama. Saat itu terdapat beberapa pandangan
hidup di India. Pada periode awal, masyarakat India bercorakkan tradisi
pertapaan dengan pertapa-pertapa berambut panjang yang telanjang. Periode
berikutnya, masyarakat mengenal upacara-upacara keagamaan dan ritus kurban dari
kaum Brahmana.
Selanjutnya, masyarakat India mengenal agama
dari kaum Upanishad. Menurut kaum ini, manusia memiliki suatu diri atau jiwa
yang kekal. Kebahagiaan kekal hanya dapat diraih jika manusia dapat bersatu
dengan alam semesta. Untuk bersatu dengan alam semesta, mereka mengembangkan
meditasi yoga.
Pandangan ini mendapat reaksi keras dari kaum
materialis. Kaum materialis menganggap bahwa tidak ada jiwa yang kekal. Menurut
kaum ini, jiwa tidak lain tidak bukan adalah badan jasmani itu sendiri. Setelah
kematian, kehidupan manusia berakhir, tidak ada lagi kehidupan berikutnya.
Kebahagiaan kekal itu tidak ada. Kebahagiaan hanya dapat diraih selagi hidup.
Mereka yang mengikuti kaum materialis menjalani hidup bersenang-senang untuk
menikmati kebahagiaan duniawi.
PENDAHULUAN
Secara
historis agama buddha mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya,
tapi walaupun demikian agama buddha mempunyai perbedaan dengan agama yang
mendahuluinya dan yang datang sesudahnya,
salah satunya agama hindu. zaman agama buddha dimulai semenjak tahun 500
SM hingga tahun 300 M.[1] Banyak para peminat
ilmu agama mempertanyakan apakah agama buddha dipandang sebagai agama, atau
hanya salah satu aliran filsafat saja. Sejalan dengan itu edwarad conze
menyatakan bahwa buddhisme dapat dianggap sebagai agama dan suatu aliran
filsafat. Sebagai agama, buddhisme merupakan suatu bentuk organisasi dari
cita-cita yang bersifat spiritual yang menolak adanya unsur kekuasaan duniawi,
yang ajarannya mampu memberikan sukses dalam mengatasi dunia dan dalam mencapai
keabadian ataupun kehidupan setelah mati. Sebagai suatu aliran filsafat, kata
conze, buddhisme bersifat dialektis pragmatis yang bercorak kejiwaan
Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan
Pengertian Hukum kasunyataan
Hukum Kesunyataan berarti
hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan.
Ini berarti bahwa hukum Kesunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa
yang berlaku disemua tempat, didalam semua keadaan/kondisi di setiap waktu.
Hukum Kesunyataan
berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia. Karena hukum yang dibuat oleh
manusia sifatnya tidak kekal dan tidak dapat mengatasi waktu, tempat dan
keadaan. Jadi berbeda sekali dengan hukum Kesunyataan yang dibuat oleh sesuatu
yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Buddha.[2]
Agama Budha Disebut Agama kesunyataan
Dari uraian diatas, ternyata bahwa agama
Buddha adalah sebuah agama Kesunyataan dan bukan agama Kepercayaan. Karena Sang
Buddha Gotama mengundang kita untuk membuktikan Kebenaran Ajaran yang telah
dibentangkan “ EHIPASSIKO”, yaitu “Datang dan buktikan”.
Kesunyataan (Sanskerta: sunyata), yang
merupakan salah satu kebenaran yang paling mendalam di dalam ajaran Buddha,
sering disalahpahami. Sunya adalah istilah yang paling tepat, meskipun tidak
pas diterjemahkan sebagai ‘kekosongan’. Kesunyataan merupakan kebenaran praktis
yang sangat membantu kita dalam kehidupan sehari-hari. Contoh-Contoh
Kesunyataan, Sebuah analogi untuk menjelaskan Kesunyataan adalah sebuah sungai.
Sebuah sungai tidak sungguh-sungguh eksis karena sungai itu merupakan banyak
arus air yang datang dan pergi, yang merupakan penyusunnya. Setiap arus ini
tidak substansial, masing-masing tersusun dari kumpulan arus-arus yang lebih
kecil lagi di dalamnya. Tidak ada sungai yang substansial atau “riil” yang ada
hanya aliran. Kita mengatakan bahwa sungai itu kosong dari sifat nyata yang
pasti inilah Kesunyataan. Segala sesuatu di alam semesta (fenomena fisik dan
mental) menunjukkan karakteristik Kesunyataan.
Contoh lain adalah sebuah air terjun.
Sebuah air terjun yang dilihat dari jauh tampak seperti ujud utuh helaian yang
berkilau. Namun, ketika diamati lebih dekat, kita melihat dengan jelas bahwa
“helaian” itu tak lain adalah sebuah arus air yang mengalir secara sinambung.
Pada hakikatnya, tidak ada “air terjun” yang riil yang ada hanyalah tetes air
yang terjun.
Manfaat Menyadari Kesunyataan
Kegelapan batin kita melihat ilusi
sebagai sesuatu yang “begitu nyata”. Kita melihat perubahan yang terus-menerus
sebagai sesuatu yang tidak berubah dan menjadi melekat pada hal-hal yang tidak
substansial. Ketidak-mampuan melihat ketidak-nyataan diri menciptakan penderitaan
yang terpusat di sekitar pandangan kita yang salah tentang diri. Tidak ada
petunjuk tentang suatu diri yang kekal di dalam segala sesuatu, baik fisik
maupun mental. Tidak ada “saya, kamu, milik saya, milik kamu…”. Jika diri
disadari sebagai kosong dan tidak nyata, segala perbedaan yang bertentangan
akan sirna, semuanya tampak sebagaimana adanya dalam realitas mereka yang
telanjang tanpa label-label kosong, penghakiman, atau prasangka.
Kemampuan menerapkan Kesunyataan dalam
kehidupan sehari-hari membawa kemudahan dan kebahagiaan yang tak terkira karena
kita menjadi terbebaskan dari belenggu kemelekatan. Menyadari Kesunyataan
adalah mencapai Kebijaksanaan tentang ketiadaan diri (melihat hakikat tiada
inti diri dalam segala sesuatu). Berfungsinya ketiadaan inti diri adalah Welas
Asih. Jadi, Kebijaksanaan sejati adalah Welas Asih dan Welas Asih sejati adalah
Bijaksana-keduanya saling berkaitan. Kesempurnaan Kebijaksanaan dan Welas Asih
membentuk puncak ganda pengembangan spiritual atau Pencerahan.
Jika kita membiasakan diri kita dengan
Kesunyataan, secara berangsur-angsur akan
membuka pikiran kita dan membebaskan diri kita dari belenggu ketidaktahuan yang
memahami realita secara salah. Pada waktunya, kita akan mengenyahkan segala
kegelapan batin, kemarahan, kemelekatan, keangkuhan, iri hati, dan sikap-sikap
negatif lainnya dari pikiran kita. Dengan berbuat demikian, kita tidak lagi
menciptakan tindakan-tindakan merusak yang termotivasi oleh semua ketidakbaikan
itu. Selanjutnya kita akan terbebaskan dari semua masalah. Dengan kata lain,
menyadari Kesunyataan mendatangkan Kebahagiaan Sejati.[3]
Sebagai rangkuman, sebuah penerapan praktis Kesunyataan dalam kehidupan
sehari-hari adalah:
Hargailah segala sesuatu ( pada saat ini )
karena semuanya adalah sementara;
Janganlah melekat pada segala sesuatu ( pada saat ini )
karena semuanya adalah sementara.
Cattur
Arya Saccani (empat kebenaran mulia)
Khotbah Hyang Budha
Shakyamuni yang pertama kali kepada lima pertapa bekas teman seperjuangannya
sewaktu bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela selama enam tahun lamanya.
Khotbah pertama kali ini di taman Rusia isipatana, di Mrigadava, Veranasi, atau
di kenal dengan nama pemutaran roda dharma yakni mengenai 4 (empat) kesunyataan
utama atau kebenaran mulia dan delapan jalan utama atau jalan benar dan suci
sebagai jalan tengah.
Empat kesunyataan utama:
1. Derita (Dukha)
2. Asal mula derita (Dukha samudaya)
3. Penghentian derita (Dukha Nirodha)
4. Jalan menuju penghentian derita (marga)
Penjelasan
Apa itu derita atau penderitaan
(dukha) ?
Pengertian dukkha tidak sama dengan
penderitaan. Dukkha menunjukkan segala sesuatu yang tidak menyenangkan, tidak
memuaskan atau tidak sempurna dan kebalikkan dari apa yang kita harapkan. Sifat
kehidupan yang berubah-ubah membuat kita mengalami ketidakpuasan batin,
kehilangan dan kekecewaan.
Penderitaaan ini dapat timbul karena : Ketidakpastian (Jabatan,
kecantikan, kekayaan dan kehidupan) ; tidak ada kepuasan ; harus berpisah
dengan tubuh jasmani berulang kali ; harus terlahir berulang-ulang (Kehilangan
kedudukan berulangkali) ; akhir Pertemuan – perpisahaan ; kekayaan – kehancuran
; kelahiran – kematian) dan tidak ada teman (pada saat lahir, meninggal dan
menderita)[4]
§
Hidup
dalam bentuk apapun di alam samsara ini adalah derita atau penderitaan (Dukha)
§
Penderitaan
(Dukha) berarti juga: kesedihan, keluh kesah, sakit atau kesakitan, kesusahan,
dan putus asa yang sering di alami oleh jasmani maupun batin kita
§
Dilahirkan,
usia tua, sakit, meninggal adalah penderitaan
§
Berhubungan
atau berkumpul dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan
§
Berpisah
atau ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan
§
Tidak
memperoleh apa yang kita inginkan atau tidak mencapai apa yang kita
cita-citakan adalah penderitaan,
§
Masih
memikul beban tanggung jawab baik dalam hubungan keluarga maupun guru terhadap
murid adalah juga penderitaan
§
Masih
memiliki lima skandha atau panca skandha yang bekerja aktif adalah juga
penderitaan
Panca skandha adalah
lima kumpulan penderitaan yang melekat pada jasmani kita yaitu:
1. Rupa : bentuk, tubuh,
badan jasmani
2. Sanna : pencerapan
3. Sankara : pikiran,
bentuk-bentuk mental
4. Vedana : perasaan
5. Vinnana : kesadaran
Secara singkat diuraikan kesunyataan yang
pertama seperti di atas dan sebagai tambahan bahwa semua kehidupan dengan tidak
ada terkecualinya, termasuk dalam panca skandha adalah sesuatu yang menyedihkan
dan dicengkeram oleh penderitaan, sesuatu yang tidak kekal, sesuatu yang tidak
berpribadi, dan hampa adanya.[5]
Apa itu asal-mula derita atau penderitaan
(samudaya)
§ Idaman ini (trsna), yang menuju pada eksistensi yang diperbaharui,
ditemani oleh nafsu keinginan rendah (tanha), yang menganbil kesenangan dalam
berbagai obyek, dimana sebagai sebab dari kelahiran dan terlahir kembali
(tumimbal lahir). Dikarenakan didorong oleh tanha yang sangat kuat sekali pada
pikiran, sebagai contoh: keinginan kita untuk memiliki apa yang kita inginkan,
atau keinginan untuk melenyapkan semua keadaan yang kita benci atau tidak
disukai. Dengan Tanha untuk kenikmatan dan kesenangan duniawi, haus dengan
cinta, rakus dengan harta, gila hormat atau khilaf dengan kuasa atau kedudukan
dikarenakan kemelekatan, kebodohan atau kegelapan batin (avidya), semua ini
menyebabkan asal mula derita.
§ Tanha atau nafsu keinginan rendah yang tiada habis-habisnya. Orang yang
pasrah kepada tanha sama saja dengan orang meminum air asin untuk menghilangkan
rasa hausnya.
§ Penjelasan tambahan bahwa kesunyataan yang kedua ini, mengajarkan bahwa
semua penderitaan, atau dengan kata lain, semua kehidupan dikarenakan keinginan
(tanha), dikarenakan nafsu keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan
(moha), yang mengakibatkan tumimbal lahir dan penderitaan, yang menjelma
sebagai gerak-gerik atau aktivitas dari badan, ucapan atau perkataan, dan
pikiran. Tidak dapat mengerti dengan jelas bahwa segala sesuatu di dunia ini
adalah tidak kekal (anitya). Karena itu, kesunyataan yang kedua ini juga
termasuk dalam pelajaran karma dan tumimbal lahir, juga sebagai hukum sebab
akibat yang saling bergantungan (hukum pratitya samutpada) dari semua lelakon
kehidupan.
Apa itu penghentian atau lenyapnya derita
atau penderitaan (Nirodha)
§ Nirodha berarti lenyapnya penderitaan yang sama artinya dengan lenyapnya
nafsu keinginan rendah (tanha) atau lenyapnya keinginan dari pikiran. Kalau
tanha dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan berbahagia
sekali, karena telah terbebas dari semua kekotoran batin yakni Loba, Dosa, dan
Moha.
§ Kesunyataan ketiga ini mengajarkan tentang lenyapnya sama sekali mengenai
“aku” (atta) dan pembebasan diri dari roda samsara atau roda tumimbal lahir dan
menuju nirwana.
§ Penjelasan tambahan bahwa kesunyataan yang ketiga ini mengajarkan tentang
lenyapnya sama sekali rasa “aku” atau keinginan dari kehidupan, dan semua
bentuk khayalan atau idaman yang berhubungan dengan itu, membersihkan segala
kekotoran batin dari Loba, Dosa, Moha yang sewajarnya harus ditujukan pada
pembebasan dari tumimbal lahir dan penderitaan, yaitu menuju tercapainya
nirwana.
Apa itu jalan menuju Lenyapnya atau
Penghentian derita (marga)
§ Marga berarti jalan untuk melenyapkan penderitaan, yaitu 8 (delapan)
jalan utama (Hasta Arya Marga): pengertian yang benar, pikiran yang benar,
perhatian yang benar, konsentrasi yang benar. Jalan beruas delapan ini
memberikan petunjuk untuk menuju pembebasan dari penderitaan, dan pula
mengandung praktek dari pelajaran Hyang Budha.
1. Pengertian yang benar (samyag-drsti)
Artinya: suatu pengertian intelektual
tentang empat kesunyataan utama atau kebenaran mulia, atau tentang kebenaran
nyata dari kehidupan secara umum maupun secara sederhana, memiliki pengertian
yang benar mengenai Budha Darma, juga menembusi arti dari tiga sifat universal
(atau tiga corak umum dari alam fenomena, skt: Tri-laksana) dan hukum sebab
akibat yang saling bergantungan (hukum pratya samutpada), sunyata.
Catatan: pengertian yang benar adalah
isyarat dan tanda-tanda yang pertama kali dari karma-karma yang baik.
2. Pikiran yang benar (samyag-samkalpa)
Artinya:
pengertian lainnya adalah kehendak yang benar yang berarti bahwa mempunyai
pikiran atau kehendak untuk membebaskan segala ikatan-ikatan Dukha (penderitaan).
Pikiran atau kehendak yang demikian haruslah bebas dari segala keserakahan,
kebencian, dan keinginan untuk merugikan orang lain dan diri sendiri. Teermasuk
juga pikiran yang bebas dari hawa nafsu keduniawian, dan juga bebas dari
kekejaman, serta pikiran yang terbebas dari keinginan atau kemauan jahat.
3.
Berbicara
yang benar (samyag-vak)
Artinya: pantang
untuk berdusta, memfitnah, bercerita yang dapat menyebabkan kemarahan orang
lain, kata-kata kasar dan kotor, dan cerita omong kosong dan tidak bertanggung
jawab. Termasuk membicarakan atau menjelaskan Budha Darma secara benar bukan
dengan unsur sengaja memutarbalikan yang benar menjadikan salah dan sebaliknya.
Disebut berbicara yang benar bila dapat memenuhi persyaratan berikut ini: bicara
itu yang benar berdasarkan fakta maupun pengalaman sendiri, bicara itu
mempunyai manfaatnya, berbicara itu tepat pada waktunya dan tempatnya.
4.
Perbuatan
yang benar (samyag-karmanta)
Artinya: tidak melakukan atau menyuruh
melakukan pembunuhan, penyiksaan, pencurian dan perzinahan
5.
Perbuatan
yang benar (samyag-ajiva)
Artinya: berarti juga mata pencaharian
yang benar, berarti menghindari atau menolak mata pencaharian yang salah dan
berusaha untuk hidup yang benar.
Catatan: lima macam mata pencaharian yang
salah haruslah dihindari, yaitu penipuan, ketidaksetiaan, penujuman,
kecurangan, praktek lintah darat (meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi)
Seorang siswa budha harus pula
menghindari lima macam perdagangan, yaitu: bergadang alat senjata, berdagang
makhluk hidup, berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari
penganiyaan makhluk-makhluk hidup), berdagang minuman alkohol atau menimbulkan
ketagihan seperti narkotika, berdagang racun.
6. Berusaha yang benar (samyag-vyayama)
Artinya: usaha untuk menghilangkan
kejahatan yang belum muncul, usaha untuk mengatasi kejahatan dan sifat buruk
yang telah muncul, usaha untuk mengembangkan kebaikan dan sifat berguna dari
pikiran, dan berusaha memelihara sifat-sifat baik yang telah ada.
Catatan: jadi ada empat macam usaha,
yaitu: menghindari, usaha untuk mengatasi, usaha mengembangkan dan usaha untuk
memelihara
7. Perhatian yang benar (samyag-smrti)
Artinya: tetap dalam perenungan pada
keadaan dari pikiran, perasaan, badan, dengan rajin dan dengan sadar dan penuh
pengertian serta menolak kerakusan dan kesedihan duniawi. Contoh: empat
perhatian pada perenungan tentang rupa (tubuh), perasaan, kesadaran dan darma
Catatan: samyag-smrti terdiri dari
latihan-latihan vipas-yana (yaitu: meditasi untuk memperoleh pandangan terang
tentang kehidupan)
8.Konsentrasi yang benar (samyag-smrti)
Artinya: menempatkan pikiran pada suatu
perbuatan yang kita ingin lakukan sesuai dengan cara yang benar.
Catatan: memusatkan pikiran pada suatu
obyek yang tunggal yang berarti terpusatnya pikiran, inilah yang disebut konsentrasi.
Di dalam arti yang lulus, konsentrasi ada
hubunganya dengan kesadaran juga. Di dalam pencerapan rasa ia sangat lemah.
Tambahan penjelasan:
Perenungan tingkat pertama: bila seorang
siswa bebas dari perasaan nafsu, bebas dari sesuatu yang tidak baik, ia masuk
dalam tingkat ini, tapi masih disertai gelombang pikiran dan renungan, terlahir
kebebasan yang mengandung kenikmatan dan kebahagiaan
Perenungan tingkat kedua: bila seorang siswa setelah mengendapnya
gelombang pikiran dan renungan, mulailah tercapai ketenangan batin,
pikiran mulai memusat, ia atau siswa
tersebut masuk dalam tingkat ini
Perenungan
tingkat ketiga: bila seorang siswa telah dapat melenyapkan kegiuran ia berdiam
diri dalam keseimbangan dan kesadaran yang kuat. Ia memasuki tingkat ini.
Perenungan tingkat keempat: bila
seseorang siswa akhirnya dapat mengatasi kenikmatan, karena lenyapnya
kegembiraan dan kesedihan. Ia memasuki keadaan di atas dari kesenangan dan
kesedihan, ia memasuki tingkat keempat ini, yang penuh keseimbangan dan
kesadaran inilah yang disebut Samadhi yang benar.
Daftar
Pustaka
Mukti Ali, Agama-agama Di Dunia,
(IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988)
Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma
(Majelis Buddhayana Indonesia)
Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma
Mahayana” (Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Palembang 1995) cet 1
[3]
Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma (Majelis Buddhayana Indonesia) http://tanhadi.blogspot.com/2010/05/kesunyataan.html
[5] Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana”
(Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Palembang 1995) cet 1 hal. 52-53
disusun Oleh martia awalia
1. Kehidupan Masyarakat India Pra-Buddha
1. Kehidupan Masyarakat India Pra-Buddha
Agama Buddha berasal dari India bagian utara
diajarkan oleh Buddha Sakyamuni. Beliau juga dikenal dengan sebutan Buddha
Gautama, Bhagava, Tathagata, Sugata, dan sebagainya. Pada masa kecil, Beliau
adalah seorang pangeran, bernama Siddharta. Pangeran Siddharta dilahirkan pada
tahun 623 sebelum Masehi, jadi sekitar 2600 tahun yang lalu.
Sebelum lahirnya agama Buddha, masyarakat India
telah mengenal berbagai kepercayaan agama. Saat itu terdapat beberapa pandangan
hidup di India. Pada periode awal, masyarakat India bercorakkan tradisi
pertapaan dengan pertapa-pertapa berambut panjang yang telanjang. Periode
berikutnya, masyarakat mengenal upacara-upacara keagamaan dan ritus kurban dari
kaum Brahmana.
Selanjutnya, masyarakat India mengenal agama
dari kaum Upanishad. Menurut kaum ini, manusia memiliki suatu diri atau jiwa
yang kekal. Kebahagiaan kekal hanya dapat diraih jika manusia dapat bersatu
dengan alam semesta. Untuk bersatu dengan alam semesta, mereka mengembangkan
meditasi yoga.
Pandangan ini mendapat reaksi keras dari kaum
materialis. Kaum materialis menganggap bahwa tidak ada jiwa yang kekal. Menurut
kaum ini, jiwa tidak lain tidak bukan adalah badan jasmani itu sendiri. Setelah
kematian, kehidupan manusia berakhir, tidak ada lagi kehidupan berikutnya.
Kebahagiaan kekal itu tidak ada. Kebahagiaan hanya dapat diraih selagi hidup.
Mereka yang mengikuti kaum materialis menjalani hidup bersenang-senang untuk
menikmati kebahagiaan duniawi.
PENDAHULUAN
Secara
historis agama buddha mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya,
tapi walaupun demikian agama buddha mempunyai perbedaan dengan agama yang
mendahuluinya dan yang datang sesudahnya,
salah satunya agama hindu. zaman agama buddha dimulai semenjak tahun 500
SM hingga tahun 300 M.[1] Banyak para peminat
ilmu agama mempertanyakan apakah agama buddha dipandang sebagai agama, atau
hanya salah satu aliran filsafat saja. Sejalan dengan itu edwarad conze
menyatakan bahwa buddhisme dapat dianggap sebagai agama dan suatu aliran
filsafat. Sebagai agama, buddhisme merupakan suatu bentuk organisasi dari
cita-cita yang bersifat spiritual yang menolak adanya unsur kekuasaan duniawi,
yang ajarannya mampu memberikan sukses dalam mengatasi dunia dan dalam mencapai
keabadian ataupun kehidupan setelah mati. Sebagai suatu aliran filsafat, kata
conze, buddhisme bersifat dialektis pragmatis yang bercorak kejiwaan
Keyakinan Terhadap Hukum Kasunyataan
Pengertian Hukum kasunyataan
Hukum Kesunyataan berarti
hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan.
Ini berarti bahwa hukum Kesunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa
yang berlaku disemua tempat, didalam semua keadaan/kondisi di setiap waktu.
Hukum Kesunyataan
berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia. Karena hukum yang dibuat oleh
manusia sifatnya tidak kekal dan tidak dapat mengatasi waktu, tempat dan
keadaan. Jadi berbeda sekali dengan hukum Kesunyataan yang dibuat oleh sesuatu
yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Buddha.[2]
Agama Budha Disebut Agama kesunyataan
Dari uraian diatas, ternyata bahwa agama
Buddha adalah sebuah agama Kesunyataan dan bukan agama Kepercayaan. Karena Sang
Buddha Gotama mengundang kita untuk membuktikan Kebenaran Ajaran yang telah
dibentangkan “ EHIPASSIKO”, yaitu “Datang dan buktikan”.
Kesunyataan (Sanskerta: sunyata), yang
merupakan salah satu kebenaran yang paling mendalam di dalam ajaran Buddha,
sering disalahpahami. Sunya adalah istilah yang paling tepat, meskipun tidak
pas diterjemahkan sebagai ‘kekosongan’. Kesunyataan merupakan kebenaran praktis
yang sangat membantu kita dalam kehidupan sehari-hari. Contoh-Contoh
Kesunyataan, Sebuah analogi untuk menjelaskan Kesunyataan adalah sebuah sungai.
Sebuah sungai tidak sungguh-sungguh eksis karena sungai itu merupakan banyak
arus air yang datang dan pergi, yang merupakan penyusunnya. Setiap arus ini
tidak substansial, masing-masing tersusun dari kumpulan arus-arus yang lebih
kecil lagi di dalamnya. Tidak ada sungai yang substansial atau “riil” yang ada
hanya aliran. Kita mengatakan bahwa sungai itu kosong dari sifat nyata yang
pasti inilah Kesunyataan. Segala sesuatu di alam semesta (fenomena fisik dan
mental) menunjukkan karakteristik Kesunyataan.
Contoh lain adalah sebuah air terjun.
Sebuah air terjun yang dilihat dari jauh tampak seperti ujud utuh helaian yang
berkilau. Namun, ketika diamati lebih dekat, kita melihat dengan jelas bahwa
“helaian” itu tak lain adalah sebuah arus air yang mengalir secara sinambung.
Pada hakikatnya, tidak ada “air terjun” yang riil yang ada hanyalah tetes air
yang terjun.
Manfaat Menyadari Kesunyataan
Kegelapan batin kita melihat ilusi
sebagai sesuatu yang “begitu nyata”. Kita melihat perubahan yang terus-menerus
sebagai sesuatu yang tidak berubah dan menjadi melekat pada hal-hal yang tidak
substansial. Ketidak-mampuan melihat ketidak-nyataan diri menciptakan penderitaan
yang terpusat di sekitar pandangan kita yang salah tentang diri. Tidak ada
petunjuk tentang suatu diri yang kekal di dalam segala sesuatu, baik fisik
maupun mental. Tidak ada “saya, kamu, milik saya, milik kamu…”. Jika diri
disadari sebagai kosong dan tidak nyata, segala perbedaan yang bertentangan
akan sirna, semuanya tampak sebagaimana adanya dalam realitas mereka yang
telanjang tanpa label-label kosong, penghakiman, atau prasangka.
Kemampuan menerapkan Kesunyataan dalam
kehidupan sehari-hari membawa kemudahan dan kebahagiaan yang tak terkira karena
kita menjadi terbebaskan dari belenggu kemelekatan. Menyadari Kesunyataan
adalah mencapai Kebijaksanaan tentang ketiadaan diri (melihat hakikat tiada
inti diri dalam segala sesuatu). Berfungsinya ketiadaan inti diri adalah Welas
Asih. Jadi, Kebijaksanaan sejati adalah Welas Asih dan Welas Asih sejati adalah
Bijaksana-keduanya saling berkaitan. Kesempurnaan Kebijaksanaan dan Welas Asih
membentuk puncak ganda pengembangan spiritual atau Pencerahan.
Jika kita membiasakan diri kita dengan
Kesunyataan, secara berangsur-angsur akan
membuka pikiran kita dan membebaskan diri kita dari belenggu ketidaktahuan yang
memahami realita secara salah. Pada waktunya, kita akan mengenyahkan segala
kegelapan batin, kemarahan, kemelekatan, keangkuhan, iri hati, dan sikap-sikap
negatif lainnya dari pikiran kita. Dengan berbuat demikian, kita tidak lagi
menciptakan tindakan-tindakan merusak yang termotivasi oleh semua ketidakbaikan
itu. Selanjutnya kita akan terbebaskan dari semua masalah. Dengan kata lain,
menyadari Kesunyataan mendatangkan Kebahagiaan Sejati.[3]
Sebagai rangkuman, sebuah penerapan praktis Kesunyataan dalam kehidupan
sehari-hari adalah:
Hargailah segala sesuatu ( pada saat ini )
karena semuanya adalah sementara;
Janganlah melekat pada segala sesuatu ( pada saat ini )
karena semuanya adalah sementara.
Cattur
Arya Saccani (empat kebenaran mulia)
Khotbah Hyang Budha
Shakyamuni yang pertama kali kepada lima pertapa bekas teman seperjuangannya
sewaktu bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela selama enam tahun lamanya.
Khotbah pertama kali ini di taman Rusia isipatana, di Mrigadava, Veranasi, atau
di kenal dengan nama pemutaran roda dharma yakni mengenai 4 (empat) kesunyataan
utama atau kebenaran mulia dan delapan jalan utama atau jalan benar dan suci
sebagai jalan tengah.
Empat kesunyataan utama:
1. Derita (Dukha)
2. Asal mula derita (Dukha samudaya)
3. Penghentian derita (Dukha Nirodha)
4. Jalan menuju penghentian derita (marga)
Penjelasan
Apa itu derita atau penderitaan
(dukha) ?
Pengertian dukkha tidak sama dengan
penderitaan. Dukkha menunjukkan segala sesuatu yang tidak menyenangkan, tidak
memuaskan atau tidak sempurna dan kebalikkan dari apa yang kita harapkan. Sifat
kehidupan yang berubah-ubah membuat kita mengalami ketidakpuasan batin,
kehilangan dan kekecewaan.
Penderitaaan ini dapat timbul karena : Ketidakpastian (Jabatan,
kecantikan, kekayaan dan kehidupan) ; tidak ada kepuasan ; harus berpisah
dengan tubuh jasmani berulang kali ; harus terlahir berulang-ulang (Kehilangan
kedudukan berulangkali) ; akhir Pertemuan – perpisahaan ; kekayaan – kehancuran
; kelahiran – kematian) dan tidak ada teman (pada saat lahir, meninggal dan
menderita)[4]
§
Hidup
dalam bentuk apapun di alam samsara ini adalah derita atau penderitaan (Dukha)
§
Penderitaan
(Dukha) berarti juga: kesedihan, keluh kesah, sakit atau kesakitan, kesusahan,
dan putus asa yang sering di alami oleh jasmani maupun batin kita
§
Dilahirkan,
usia tua, sakit, meninggal adalah penderitaan
§
Berhubungan
atau berkumpul dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan
§
Berpisah
atau ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan
§
Tidak
memperoleh apa yang kita inginkan atau tidak mencapai apa yang kita
cita-citakan adalah penderitaan,
§
Masih
memikul beban tanggung jawab baik dalam hubungan keluarga maupun guru terhadap
murid adalah juga penderitaan
§
Masih
memiliki lima skandha atau panca skandha yang bekerja aktif adalah juga
penderitaan
Panca skandha adalah
lima kumpulan penderitaan yang melekat pada jasmani kita yaitu:
1. Rupa : bentuk, tubuh,
badan jasmani
2. Sanna : pencerapan
3. Sankara : pikiran,
bentuk-bentuk mental
4. Vedana : perasaan
5. Vinnana : kesadaran
Secara singkat diuraikan kesunyataan yang
pertama seperti di atas dan sebagai tambahan bahwa semua kehidupan dengan tidak
ada terkecualinya, termasuk dalam panca skandha adalah sesuatu yang menyedihkan
dan dicengkeram oleh penderitaan, sesuatu yang tidak kekal, sesuatu yang tidak
berpribadi, dan hampa adanya.[5]
Apa itu asal-mula derita atau penderitaan
(samudaya)
§ Idaman ini (trsna), yang menuju pada eksistensi yang diperbaharui,
ditemani oleh nafsu keinginan rendah (tanha), yang menganbil kesenangan dalam
berbagai obyek, dimana sebagai sebab dari kelahiran dan terlahir kembali
(tumimbal lahir). Dikarenakan didorong oleh tanha yang sangat kuat sekali pada
pikiran, sebagai contoh: keinginan kita untuk memiliki apa yang kita inginkan,
atau keinginan untuk melenyapkan semua keadaan yang kita benci atau tidak
disukai. Dengan Tanha untuk kenikmatan dan kesenangan duniawi, haus dengan
cinta, rakus dengan harta, gila hormat atau khilaf dengan kuasa atau kedudukan
dikarenakan kemelekatan, kebodohan atau kegelapan batin (avidya), semua ini
menyebabkan asal mula derita.
§ Tanha atau nafsu keinginan rendah yang tiada habis-habisnya. Orang yang
pasrah kepada tanha sama saja dengan orang meminum air asin untuk menghilangkan
rasa hausnya.
§ Penjelasan tambahan bahwa kesunyataan yang kedua ini, mengajarkan bahwa
semua penderitaan, atau dengan kata lain, semua kehidupan dikarenakan keinginan
(tanha), dikarenakan nafsu keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan
(moha), yang mengakibatkan tumimbal lahir dan penderitaan, yang menjelma
sebagai gerak-gerik atau aktivitas dari badan, ucapan atau perkataan, dan
pikiran. Tidak dapat mengerti dengan jelas bahwa segala sesuatu di dunia ini
adalah tidak kekal (anitya). Karena itu, kesunyataan yang kedua ini juga
termasuk dalam pelajaran karma dan tumimbal lahir, juga sebagai hukum sebab
akibat yang saling bergantungan (hukum pratitya samutpada) dari semua lelakon
kehidupan.
Apa itu penghentian atau lenyapnya derita
atau penderitaan (Nirodha)
§ Nirodha berarti lenyapnya penderitaan yang sama artinya dengan lenyapnya
nafsu keinginan rendah (tanha) atau lenyapnya keinginan dari pikiran. Kalau
tanha dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan berbahagia
sekali, karena telah terbebas dari semua kekotoran batin yakni Loba, Dosa, dan
Moha.
§ Kesunyataan ketiga ini mengajarkan tentang lenyapnya sama sekali mengenai
“aku” (atta) dan pembebasan diri dari roda samsara atau roda tumimbal lahir dan
menuju nirwana.
§ Penjelasan tambahan bahwa kesunyataan yang ketiga ini mengajarkan tentang
lenyapnya sama sekali rasa “aku” atau keinginan dari kehidupan, dan semua
bentuk khayalan atau idaman yang berhubungan dengan itu, membersihkan segala
kekotoran batin dari Loba, Dosa, Moha yang sewajarnya harus ditujukan pada
pembebasan dari tumimbal lahir dan penderitaan, yaitu menuju tercapainya
nirwana.
Apa itu jalan menuju Lenyapnya atau
Penghentian derita (marga)
§ Marga berarti jalan untuk melenyapkan penderitaan, yaitu 8 (delapan)
jalan utama (Hasta Arya Marga): pengertian yang benar, pikiran yang benar,
perhatian yang benar, konsentrasi yang benar. Jalan beruas delapan ini
memberikan petunjuk untuk menuju pembebasan dari penderitaan, dan pula
mengandung praktek dari pelajaran Hyang Budha.
1. Pengertian yang benar (samyag-drsti)
Artinya: suatu pengertian intelektual
tentang empat kesunyataan utama atau kebenaran mulia, atau tentang kebenaran
nyata dari kehidupan secara umum maupun secara sederhana, memiliki pengertian
yang benar mengenai Budha Darma, juga menembusi arti dari tiga sifat universal
(atau tiga corak umum dari alam fenomena, skt: Tri-laksana) dan hukum sebab
akibat yang saling bergantungan (hukum pratya samutpada), sunyata.
Catatan: pengertian yang benar adalah
isyarat dan tanda-tanda yang pertama kali dari karma-karma yang baik.
2. Pikiran yang benar (samyag-samkalpa)
Artinya:
pengertian lainnya adalah kehendak yang benar yang berarti bahwa mempunyai
pikiran atau kehendak untuk membebaskan segala ikatan-ikatan Dukha (penderitaan).
Pikiran atau kehendak yang demikian haruslah bebas dari segala keserakahan,
kebencian, dan keinginan untuk merugikan orang lain dan diri sendiri. Teermasuk
juga pikiran yang bebas dari hawa nafsu keduniawian, dan juga bebas dari
kekejaman, serta pikiran yang terbebas dari keinginan atau kemauan jahat.
3.
Berbicara
yang benar (samyag-vak)
Artinya: pantang
untuk berdusta, memfitnah, bercerita yang dapat menyebabkan kemarahan orang
lain, kata-kata kasar dan kotor, dan cerita omong kosong dan tidak bertanggung
jawab. Termasuk membicarakan atau menjelaskan Budha Darma secara benar bukan
dengan unsur sengaja memutarbalikan yang benar menjadikan salah dan sebaliknya.
Disebut berbicara yang benar bila dapat memenuhi persyaratan berikut ini: bicara
itu yang benar berdasarkan fakta maupun pengalaman sendiri, bicara itu
mempunyai manfaatnya, berbicara itu tepat pada waktunya dan tempatnya.
4.
Perbuatan
yang benar (samyag-karmanta)
Artinya: tidak melakukan atau menyuruh
melakukan pembunuhan, penyiksaan, pencurian dan perzinahan
5.
Perbuatan
yang benar (samyag-ajiva)
Artinya: berarti juga mata pencaharian
yang benar, berarti menghindari atau menolak mata pencaharian yang salah dan
berusaha untuk hidup yang benar.
Catatan: lima macam mata pencaharian yang
salah haruslah dihindari, yaitu penipuan, ketidaksetiaan, penujuman,
kecurangan, praktek lintah darat (meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi)
Seorang siswa budha harus pula
menghindari lima macam perdagangan, yaitu: bergadang alat senjata, berdagang
makhluk hidup, berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari
penganiyaan makhluk-makhluk hidup), berdagang minuman alkohol atau menimbulkan
ketagihan seperti narkotika, berdagang racun.
6. Berusaha yang benar (samyag-vyayama)
Artinya: usaha untuk menghilangkan
kejahatan yang belum muncul, usaha untuk mengatasi kejahatan dan sifat buruk
yang telah muncul, usaha untuk mengembangkan kebaikan dan sifat berguna dari
pikiran, dan berusaha memelihara sifat-sifat baik yang telah ada.
Catatan: jadi ada empat macam usaha,
yaitu: menghindari, usaha untuk mengatasi, usaha mengembangkan dan usaha untuk
memelihara
7. Perhatian yang benar (samyag-smrti)
Artinya: tetap dalam perenungan pada
keadaan dari pikiran, perasaan, badan, dengan rajin dan dengan sadar dan penuh
pengertian serta menolak kerakusan dan kesedihan duniawi. Contoh: empat
perhatian pada perenungan tentang rupa (tubuh), perasaan, kesadaran dan darma
Catatan: samyag-smrti terdiri dari
latihan-latihan vipas-yana (yaitu: meditasi untuk memperoleh pandangan terang
tentang kehidupan)
8.Konsentrasi yang benar (samyag-smrti)
Artinya: menempatkan pikiran pada suatu
perbuatan yang kita ingin lakukan sesuai dengan cara yang benar.
Catatan: memusatkan pikiran pada suatu
obyek yang tunggal yang berarti terpusatnya pikiran, inilah yang disebut konsentrasi.
Di dalam arti yang lulus, konsentrasi ada
hubunganya dengan kesadaran juga. Di dalam pencerapan rasa ia sangat lemah.
Tambahan penjelasan:
Perenungan tingkat pertama: bila seorang
siswa bebas dari perasaan nafsu, bebas dari sesuatu yang tidak baik, ia masuk
dalam tingkat ini, tapi masih disertai gelombang pikiran dan renungan, terlahir
kebebasan yang mengandung kenikmatan dan kebahagiaan
Perenungan tingkat kedua: bila seorang siswa setelah mengendapnya
gelombang pikiran dan renungan, mulailah tercapai ketenangan batin,
pikiran mulai memusat, ia atau siswa
tersebut masuk dalam tingkat ini
Perenungan
tingkat ketiga: bila seorang siswa telah dapat melenyapkan kegiuran ia berdiam
diri dalam keseimbangan dan kesadaran yang kuat. Ia memasuki tingkat ini.
Perenungan tingkat keempat: bila
seseorang siswa akhirnya dapat mengatasi kenikmatan, karena lenyapnya
kegembiraan dan kesedihan. Ia memasuki keadaan di atas dari kesenangan dan
kesedihan, ia memasuki tingkat keempat ini, yang penuh keseimbangan dan
kesadaran inilah yang disebut Samadhi yang benar.
Daftar
Pustaka
Mukti Ali, Agama-agama Di Dunia,
(IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988)
Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma
(Majelis Buddhayana Indonesia)
Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma
Mahayana” (Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Palembang 1995) cet 1
[3]
Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma (Majelis Buddhayana Indonesia) http://tanhadi.blogspot.com/2010/05/kesunyataan.html
[5] Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana”
(Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Palembang 1995) cet 1 hal. 52-53
0 komentar:
Posting Komentar