Dalam bentuk agama Buddha yang paling tua, akhir dari Jalan itu
adalah pencapaian ke-Arahat-an, bila kehidupan telah lewat, menuju Nirvana.
Kemudian apa yang dimaksud dengan Nirwana? Arti dasar dari kata itu
adaalah pemadaman dari api bila bahan bakarnya telah semua dihabiskan. Yaitu,
dalam Agama Buddha dari aliran selatan (Hinayana), bila api dari hawa nafsu
bersifat keduniawian hilang, dan siswa itu menjadi seorang Arahat, bebas dari
semua keinginan dan kehidupan yang telah lewat, dia dikatakan telah mencapai Nirvana,
atau Pari Nirvana: Dalam Agama Buddha bagian Utara (Mahayana) Nirvana mempunyai
pengertian philosofi yang melebihi: Nirvana berarti keadaan di mana tidak hanya
api dan hawa nafsu keduniawian telah hilang dan kehidupan keduniawian telah
lewat, tetapi semua keinginan berhubungan dengan karma bagi kehidupan individu
dipadamkan dan siswa itu telah melewati ke dalam kehidupan yang menyatu dari
ke-Buddha-an.[1]
Pengertian Nibbana
Nibbana adalah
kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa.
Kebahagiaan Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan
memadamkannya.[2]
Menurut bunyinya arti nibbana ialah pemadaman. Tetapi akan
merupakan suatu kesalah fahaman untuk menafsirkan, bahwa nibbana itu suatu
pemadaman kepribadian, sebab kepribadian ini tidak ada, jadi tidak mungkin juga
dapat dipadamkan. Janganlah pula orang mengira, bahwa nibbana itu suatu keadaan
kebahagiaan yang abadi bagi si aku.[3]
Nibbana adalah tujuan
akhir ajaran Buddha. Lantas, apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk
mengetahui apa Nibbana itu sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang
bukan Nibbana.
Nibbana bukanlah
ketiadaan atau kepenuhan. Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan kerajaan-Nya dan berceramah selama 45
tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa abad setelah Buddha, sebagian
aliran Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai surga. Tujuan
mereka menyetarakan Nibbana dengan alam surgawi adalah untuk meyakinkan
orang yang “kurang pintar” dan untuk menarik mereka pada ajaran aliran itu,
lalu berjuang menuju Nibbana berarti jadi menjadi mencari suatu tempat
yang indah dimana semua hal baik adanya dan semua orang bahagia selamanya. Ini
mungkin suatu dongeng yang menyenangkan, tetapi itu bukan Nibbana yang
dialami dan diperkenalkan oleh Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal
gagasan tentang surga seperti yang dikenal dalam agama-agama awal India, tetapi itu Buddha mengetahui bahwa
surga-surga ini masih termasuk dalam samsara, sementara keterbatasan
akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa jalan menuju Nibbana tertuju
lebih dari surga.? Secara tegas, kita tidak dapat bertanya di manakah Nibbana
itu.[4]
Nibbana mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir
proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep sorga maupun
neraka, ataupun arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, maupun
Hindu. Radhakrishnan memberikan pengertian nibbana sebagai bebas dari kelahiran
kembali, berakhirnya rantai kehidupan, paniadaan keinginan, dendam dan
kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana yang mutlak.
Nibbana mengatasi
hubungan relatif antara ada dan tiada, antara being dan non-being. Di dalam
Sutta-sutta seperti Angutaranikaya I:152, Samyut-tanikaya IV: 359 dan
lain-lain, nibbana dipahami sebagai yang mutlak. Di dalam agama Buddha
Mahayana, yang mutlak adalah sunyata, terutama seperti yang digambarkan
dalam ajaran Nagaryuna. Namun demikian, semua aliran agama Buddha memandang
yang mutlak sebagai tujuan yang terakhir, yaitu nibbana.[5]
Jika Nibbana bukan suatu tempat, lalu di manakah Nibbana itu
seperti adanya api. Tidak ada tempat penyimpanan untuk api ataupun untuk Nibbana.
Tetapi jika Anda menggosok potongan kayu bersamaan, maka gesekan dan panas
adalah kondisi yang tepat bagi api untuk muncul. Demikian juga, jika sifat
pikiran manusia sedemikian sehingga bebas dari semua noda, maka kebahagiaan Nibbana
akan muncul.
Setiap orang dapat merealisasikan Nibbana, tetapi sebelum
mengalami keadaan tertinggi kebahagiaan Nibbana, ia hanya dapat
berspekulasi seperti apa itu sebenarnya, sekalipun kita bisa mendapatkannya
sekilas dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang bersikeras pada teori,
teks-teks menawarkan bantuan. Teks-teks menyarankan bahwa Nibbana adalah
keadaan kebahagiaan murni yang luar biasa.[6]
Banyak buku yang mengujikan uraian tentang Nibbana telah dituliskan
sejak jaman dahulu hingga kini. Nibbana bukanlah sesuatu yang harus dituliskan
atau dijelaskan, tetapi harus dialami. Penjelasan tentang rasa gula terhadap
orang yang belum pernah merasakan gula. Hanya dengan merasakan gula, maka orang
dapat mengetahui dan menilainya sendiri. Nibbana adalah suatu “keadaan”,
seperti diajarkan oleh Sang Buddha, Nibbana adalah keadaan yang pasti setelah
keinginan lenyap. Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbana
adalah padamnya keinginan, ikatan-ikatan, napsu-napsu, kekotoran-kekotoran
bathin. Dengan demikian, Nibbana adalah Kasunyatan Abadi, tidak dilahirkan
(na-uppado-pannayati), tidak termusnah (na vayo-pannayati), ada dan tidak
berubah (nathitassannahattan-pannayati). Nibbana disebut Asankhata-Dhamma
(keadaan tanpa syarat, tidak berkondisi, yaitu Nibbana). Keadaan ini sulit untuk
dipaparkan sebagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dikenal jika keadaan
terang diketahui. Nibbana dapat dialami jika dukkha telah disadari. Menyadari
dukkha berarti menyadari asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan untuk
melenyapkan dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya sedih dan gembira.
Sedih dan gembira adalah nilai subyektif yang timbul dari pikiran
orang yang merupakan refleksi keinginan pribadi, karena refleksi-refleksi tidak
mempunyai nialai sejati, maka sedih dan gembira hanya merupakan refleksi “aku”
yang khayal. Lenyapnya khayalan itu disebut Nibbana. Jika khayalan “aku” telah
terbasmi, maka tiada lagi perubahan-perubahan sedih dan gembira. Itulah yang
dimaksud dengan “Nibbana peranan sukkham” (Nibbana Kebahagiaan Tertinggi), bukan
kebahagiaan duniawi atau kebahagiaan emosional, melainkan pembebasan mutlak
dari segala bentuk ikatan indera dan keiginan rendah (tanha).[7]
Dengan dirinya sendiri, Nibbana cukup tidak dapat dijelaskan
dan didefinisikan. Seperti kegelapan hanya dapat dijelaskan dengan lawannya:
terang, dan seperti ketenangan hanya dapat dijelaskan oleh lawannya: gerakan,
demikian pula Nibbana, sebagai suatu keadaan yang setara dengan pemadaman
segala duka dapat dijelaskan dengan lawannya: duka yang dipukul dalam samsara.
Seperti kegelapan timbul pada saat tidak ada cahaya, seperti ketenangan muncul
pada saat tidak ada gerakan, demikian pula Nibbana ada di mana-mana saat
duka, perubahan, dan cemaran batin tidak ada.
Seorang penderita yang menggaruk lukanya dapat mengalami rasa lega
sementara. Rasa lega ini hanya memperburuk luka dan memperparah penyakit.
Kegembiraan kesembuhan akhir tidak dapat dibandingkan dengan rasa lega
sementara yang diperoleh dari garukan, pemuasan nafsu indrawi hanya membawa
kepuasan atau kebahagiaan sementara yang justru memperpanjang perjalanan samsara
adalah Nibbana. Nibbana adalah akhir dari nafsu yang menyebabkan
semua penderitaan kelahiran, usia, tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan,
dan keputusasaan. Kegembiraan penyembuhan Nibbana sulit dibandingkan
dengan kesenagan sementara dalam samsara yang diperoleh dari pemenuhan
nafsu indrawi.[8]
Dan akhirnya mengenai kesukaran yang besar di dalam ajaran tentang
nirwana, timbullah di sini persoalan-persoalan, karena di satu pihak diajarkan
kefanaan mutlak dari segala sesuatu di dunia ini, sehingga di dalam manusia
dianggap tak terdapat jiwa yang kekal atau sesuatu yang serupa itu, tetapi di
lain pihak seluruh pengertian kelepasan itu menunjukkan, bahwa dengan suatu
cara harus ada kemungkinan suatu perpindahan dari dunia ini” ke seberang sana”.
Dunia mutlak (apa yang dikatakan Buddha tentang nirwana mendekati pengertian
semacam itu) memang lain sama sekali daripada dunia ini, sungguh terpisah,
tetapi dengan sesuatu cara berhubungan pula dengan dunia ini di dalam arti
bahwa perpindahan dari dunia ini ke dunia semesta itu mungkin. Karena dunia
mutlak itu tercerai dari dunia ini, maka orang hanya dapat mengatakan secara
negatif saja tentang nirwana.[9]
Tidak disarankan untuk berspekulasi tentang apakah Nibbana itu;
lebih baik untuk mengetahui bagaimana menyampaikan kondisi yang diperlukan
untuk Nibbana, bagaimana mencapai keheningan dan kebeningan pandangan
yang menuju Nibbana. Ikuti nasehat Buddha, praktekan ajaran-Nya.
Lenyapkan semua kotoran yang berakar dalam ketamakan (lobha), kebencian
(dosa) dan ketakutan (moha). Murnikan batin sendiri dari semua nafsu
dan sadari tiadanya inti diri yang mutlak. Jalani hidup dengan tindakan moral
yang benar dan secara konstan lakukan meditasi. Dengan upaya aktif, bebaskan
diri sendiri dari semua keakuan dan khayalan. Kemudian, Nibbana akan
direalisasikan dan dialami.[10]
Anda seharusnya dapat menjawab dengan benar pertanyaan “Apakah
kedamaian itu?”…
Jika Anda bertanya pada anak kecil dan orang dewasa apakah
kedamaian itu, jawaban mereka akan sangat berbeda. Jika Anda bertanya pada
majikan dan pegawai, apakah kedamaian itu, Anda akan mendapatkan jawaban yang
tidak akan pernah cocok. Kedamaian sulit dipahami. Kedamaian tubuh adalah
kedamaian materi saja; kedamaian batin adalah kedamaian mental saja. Yang
benar, seharusnya kebenaran keduanya… (Buddhisme
on Economics p.16)
Nibbana seharusnya direnungkan sebagai sesuatu yang telah
disediakan oleh Alam untuk manusia pada tingkat tertinggi. Kita seharusnya
memahami ini sehingga nibbana dan hidup kita tidak berlawanan. (Nibbana
for Everyone > Evolution/Liberation Journal: Magha Puja Season 1991 p. 12).[11]
Nibbana dan samsara
Pelajar Buddhisme Mahayana terkemuka, Ngarjuna, berkata bahwa samsara
dan Nibbana adalah satu. Penafsiran ini bisa dengan mudah disalahpahami
oleh orang lai. Bagaimanapun, menyatakan bahwa samsara dan Nibbana
itu sama saja, berarti mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hilangnya hal
terkondisi dan keadaan tak terkondisi dari Nibbana. Berdasarkan Tipitaka
pali, samsara digambarkan sebagai kesinambungan tak terputus dari lima gugus,
empat unsur, dan dua belas besar dasar atau sumber proses batin; sedangkan Nibbana
digambarkan sebagai pemadaman sumber relatif fisik dan mental itu.
Mereka yang merealisai kebahagiaan Nibbana dapat
mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagai manusia. Setelah kematian,
hubungan dengan unsur-unsur tersebut akan luruh, karena alasan yang sederhana
bahwa Nibbana tidak terkondisi, tidak relatif, atau tidak salin
bergantung. Jadi tiada lain bahwa Nibbana adalah “Kebenaran Mutlak”.[12]
Sang Buddha pernah ditanya
apakah seorang Buddha, seseudah mencapai Parinibbana, ada atau tidak ada. Sang
Buddah diam dan tidak menjawab. Alasannya ialah bahwa hal itu tidak bermamfaat
bagi pembebasan manusia dari dukkha. Pertanyaan timbul karena orang mempunyai
kesalah pahaman tentang dualitas antara ada dan tidak ada. Selama paham “aku”
masih melekat, mustahil Nibbana dapat tercapai
a)
Dalam
Abhidhammatthasangaha, berbunyi sebagai berikut :
“VANA
SANKHATAYA TANHAYA NIKKHANTATTA NIBBANAM”
Artinya
:
Keadaan
yang terbebas dari tanha(keinginan rendah), disebut Nibbana.
b)
Dalam
Paramatthadipanitika, berbunyi sebagai berikut :
“NATTHI
VANAM ETTHANI NIBBANAM”
Artinya:
Keadaan
ketenangan yang timbul dengan terbelahnya dari Tanha ( keinginan rendah),
disebut Nibbana.
c)
“TAYIDAM
SANTI LAKKHANAM”
Artinya
:
Nibbana
adalah kebahgiaan yang terbebas dari kilesa (kekotoran bathin)
“NIBBANAM
PARAMAM SUKHAM”
Artinya:
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi.[13]
Nibbana dapat dicapai
dalam kehidupan saat ini juga. Ajaran Buddha tidak menyatakan bahwa tujuan
akhir itu hanya dapat dicapai dalam kehidupan sesudahnya. Ketika Nibbana
direlisasikan dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal ini disebut Saupadisesa
Nibbana. Saat seorang Araha
merealisai Parinibbana, setelah luruhnya tubuh, tanpa sisa keberadaan
fisik, hal ini disebut Anupadisesa Nibbana.
Kita harus belajar untuk tidak melekat dari semua hal keduniawian.
Jika ada kelekatan terhadap seorang atau sesuatu, atau jika ada keengganan terhadap
seseorang atau sesuatu, kita tidak akan pernah merealisasi Nibbana
karena Nibbana melampaui semua kelekatan dan keengganan, suka dan tidak
suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai, kita akan memahami sepenuhnya
hidup keduniawian yang sekarang ini. Dunia ini akan berhenti menjadi obyek
nafsu. Kita akan menyadari ketaktetapan, ketakpuasan, dan ketiadadirian semua
yang hidup dan yang tak hidup. Dengan tergantung pada guru atau buku suci tanpa
usaha kita sendiri dengan cara yang
benar, sukar untuk meraih penyadaran Nibbana. Mimpi akan buyar. Tidak
ada istana yang akan dibangun di udara. Badai akan berlalu. Perjuangan hidup
akan usai. Proses alam akan berhenti. Semua kecemasan, kesengsaraan, gangguan,
beban, penyakit fisik dan mental, dan emosi akan berakhir setelah
merealisasikan keadaan kebahagiaan Nibbana ini.
Mengatakan bahwa Nibbana adalah ketidaan, semata-mata karena orang tidak mampu
merasakannya dengan panca indra, sama tidak logisnya dengan berkata bahwa
cahaya itu tidak ada hanya karena orang buta tidak melihatnya. [14]
Dari paparan di
atas tampak bahwa kosepsi ketuhanan dalam aliran Theravada tidak dapat
digolongkan ke dalam konsep teisme yang memahami Tuhan sebagai pribadi,
melainkan termasuk konsep yang non teis dan sangat berbeda dengan konsep agama
lain. Aliran tersebut mengakui adanya Tuhan, namun, seperti ajaran asli Buddha,
Tuhan tidak harus dipandang sebagai suatu pribadi yang selalu berhubungan
dengan alam semesta dan lainnya beserta isinya.[15]
Pengertian Nibbana yang paling singkat dan menyeluruh adalah
berakhirnya proses “menjadi” (dumadi) Dalam Milinda Panha (kitab yang berisi
percakapan antara Bhikku Nagasena dan Raja Yunani) dikatakan:
“Nibbana penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, O Raja. Barang
siapa yang mengatur kehidupannya secara sempurna, dengan memahami sifat
kehidupan, sesuai dengan ajaran para Buddha, menyadari kehidupan melalui
kebijaksanaan (panna), sebagaimana seorang siswa, yang mengikuti
petunjuk-petunjuk Sang Guru, menjadikan dirinya seorang nahkoda bagi kapalnya sendiri”.
“Jika Anda bertanya, bagaimana Nibbana dapat diketahui, hal itu
dapat diketahui melalui pembebasan dari ketenangan dan bahaya, melalui
kedamaian, ketengan, kebahagiaan dan kesucian”.[16]
“sebagaimana seorang, O Raja, yang jatuh ke dalam tungku perapian
yang penuh dengan ikatan kayu kering, melalui ushanya yang keras, ia dapat
menyelamatkan dirinya dari mencapai sebuah tempat yang sejuk, maka ia akan
merasakan kebahagiaan yang luhur, begitupula halnya dengan orang yang hidup
dengan benar. Orang demikian, melalui refleksi sungguh-sungguh menyelami
kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana setelah panas yang membakar dari tiga api
(api keserakahan, api kebencian, api kebodohan bathin) dipadamkan seluruhnya.
Tungku perapian menggambarkan tiga api di atas, orang yang sedang terbakar di
dalamnya dan telah melepaskan diri menggambarkan dirinya yang menempuh
kehidupan dengan benar, sedangkan tempat yang sejuk menggambarkan arti
Nibbana”.
“Apakah Nibbana itu suatu tempat?” tanya Raja Milinda. “Nibbana
bukanlah suatu tempat, O Raja, tapi nibana itu ada, sebagi mana nyala api, itu
ada meskipun api itu tidak disimpan di
suatu tempat tertentu”
“Apakah tiadak tempat berpijak lagi seseorang untuk mencapai
Nibbana ?”
“Ya, O Raja, ada tempat seperti itu, tempat itu adalah kebajikan.”
Mereka yang mencapai Nibbana tidak lagi menaruh perhatian terhadap
kelangsungan dirinya. Kematian dapat tiba menurut kehendaknya atau setelah
umurnya usai. Mereka tidak lagi menimbun Kamma baru, melainkan sekedar
menghabiskan Kamma lampaunya.[17]
Kata nibbana berarti “membuat menjadi tenang”…
Ketenangan hati dan kedamaian batin yang diharapkan setiap orang
adalah arti dari nibbana.
Menurut Buddha, nibbana adalah akhir dari nafsu, akhir dari
kebencian, dan akhir dari khayalan, yang merupakan pemadaman akhir semua api
dan ketenangan “paling tenang” yang ada dalam hidup. (No Religion p. 33/
Nibbana for Everyone > Evolution/ Liberation Journal: Magha Puja Season 1991
p. 11, 12)
Kapan saja Anda mengalami ketenangan, catat ketenangan itu dengan
sungguh-sungguh di dalam hati Anda, serta tarik nafas dan keluar nafas. Menarik
nafas adalah ketenangan, mengeluarkan nafas adalah ketenangan, di dalam tenang,
diluar tenang. Lakukan ini sejenak… Inilah jalan terbaik untuk membantu batin
kembali pada Sifat Dasar.[18]
…Marilah kita hidup dalam kehidupan pemadaman total, sebuah
kehidupan yang menyiram api nafsu keinginan, sebuah kehidupan yang tenang. Saat
kita terbakar nafsu, kita mati. Seseorang yang panas di dalam batin seperti
iblis di neraka… (Nibbana for Everyone p. 10, 14/ No Religion p.33)
Nibbana adalah
kematian Ego sebelum tubuh mati.
Kapan saja kita bertikai karen pendapat, penghargaan, kesombongan,
atau sikap keras kepala, hal ini menunjukkan bahwa kita telah kehilangan
hubungan dengan nibbana. (The Dawning of Truths: Difficult for Anyone to
Belive no. 8/ No Religion p. 35)
Sifat tidak ada sesuatu yang mengganggu pikiran, akan ada
kebahagiaan sejati.
Hal ini mungkin terdengar menggelikan bagi Anda, tetapi lenyapnya
gangguan adalah kebahagiaan sesungguhnya. (Happiness and Hunger p. 15)[19]
Dengan demikian sampailah
kita pada bagian yang irasional (yang tidak berdasarkan akal) dari kepercayaan
itu. Apabila kita sampai pada tempat yang lain, maka kita akan tersesat. Sebab
kita telah berusaha untuk mengikuti Buddha di dalam perwartaan ajaran
kebahagiannya.[20]
Kehidupan bertahan oleh munculnya secara alami “nibbana-nibbana sementara”;
jika tidak, kita semua menjadi penderita gangguan jiwa atau mati dengan segera.
Kita memiliki nibbana sebagai sebuah kebutuhan untuk
menopang kehidupan pada semua tingkatan… tetapi kita tidak melihatnya. Jika
kita tidak memiliki satu periode di mana pikiran terbebas dari kotoran batin
untuk sementara (nibbana sementara), kita akan menjadi penderita
gangguan jiwa atau gila dan telah mati sejak lama dahulu.
Jadi kita hendaknya tidak berpikir bahwa kita hrus mengganggu
selama puluhan atau ratusan ribu tahun sebelum kita dapat mencapai nibbana,
yang sebenarnya telah menopang kehidupan kita setiap saat.[21]
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agma budha, mencakup
pengetahuan tentang empat kebenaran mulia. Mengerti dengan benar berarti
memahami segala sesuatu sebagaimana adanya bukan sebagaimana nampaknya. Pada
pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti
tertulis di dalam Rohitassa Sutta: “empat kebenaran mulia tergantung pada tubuh
ini yang panjangnya dua depan beserta kesadaranya”.[22]
Seseorang hendaknya mengatur kehidupan sehari-hari sehingga
hidupnya terisi oleh nibbana-ketenangan yang damai. (The Dawing of
Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 43/ A Buddhis Charter p.35/ The
Dawning of Truth: Difficult for Anyone to Believe no. 62)[23]
Nibbana tidak memiliki
hubungan apa pun dengan kematian
Kebanyakan orang menunggu untuk mendapat kenikmatan nibbana
setelah mati, meskipun mereka semstinya mendapatkannya di sini dan di saat ini.
Nibbana dapat
ditemukan pada lingkaran kehidupan bukan sebagai tujuan luar seperti yang
sering dipikirkan.
Pemadaman api ada di dalam api, demikian juga pemadaman dukkha
ada pada dukkha sendiri… (the Dawning of Truths: Difficult for Anyone to
Belive no. 3, 63/ A Buddhist Charter p. 35)
“Kecantikan terdapat di jasad tubuh, ketenangan terdapat di dalam
pelepasan, bhikkhu terdapat di dalam kebenaran, nibbana terdapat
pada keadaan hampir mati sebelum kematian”. (Legacy We Would Leave with You no.
39)
Nibbana- ketenangan dan
kedamaian yang dialami saat tidak ada kemelakatan-tidak membutuhkan biaya
sepeser pun.[24]
Dalam membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal.
Musafir spiritual berusaha memperbaiki penghidupanya dengan cara menahan diri
dari lima macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Budha, yaitu:
Memperdagangkan senjata, manusia, binatang-binatang untuk dibunuh, minuman
keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bikkhu, penghidup salah meliputi perbuatan-perbuatan
munafikan cara-cara yang tidak dibenarkan untuk memeperoleh kebutuhan-kebutuhan
hidup seorang Bikkhu.
Usaha benar, terdiri atas empat macam kegiatan yaitu: usaha
melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan
yang belum timbul, usaha membengkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha
mengembangkan kebajikan yang telah timbul.[25]
Yesus mengatakan jumlah biaya yang sama pada hal yang sama. Beliau
mengundang kita untuk meminum air kehidupan tanpa biaya. Lebih lanjut, beliau
memanggil kita untuk memasuk kedalam kehidupan abadi yang berarti mencapai
keadaan dimana kita menjadi satu dengan Tuhan, dan oleh karenanya kita tidak
mengalami kematian lagi. (no Religion p. 29)
Nibbana adalah sebuah
kondisi yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain dengan cara apapun. Nibbana
tidak seperti kondisi keduniawian maupun manapun. Sebenarnya, nibbana adalah negasi dari kondisi
duniawi. Kita tidak dapat menciptakan nibbana karena nibbana
melampaui semua sebab dan akibat, tetapi kita dapat menciptakan kondisi untuk
merealisasikan nibbana, yang dinamakan segala tindakan yang menuntun
kebebasan dari kotoran batin. (Handbook for Mankind p. 151/ Nibbana for
Everyone p. 8)
…Hukum Alam, kekososngan, dan nibbana. Ketiganya tidak
memiliki pencipta. Bahkan Tuhan tidak dapat menciptakannya karena ketiganya
memiliki setatus yang sama sebagai Tuhan. (Legacy we Would Leave with You no.
59).[26]
Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti
sampai arus ini dibelokan ke Nibbanadhatu, tujuan akhir umat Budha, istilah
Pali “ Nibbana” berasal dari kata ini dan vana. Ni merupakan partikel negative,
sedang vana berarti nafsu atau keinginan. “ Disebut Nibbana, karena terbebas
dari nafsu yang disebut vana, keinginan”. Secara harfiah, Nibbana berarti
terbebas dari kemelekatan.
Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserekahan,
kebencian dan kebodohan. Sang Buddha
bersabda: “seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa? Terbakar oleh api
keserakahan, kebencian, dan kebodohan, oleh api kelahiran, usia tua, kematian,
kesakitan, duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah”.
Istilah Praktyabuddha digunakan oleh kedua aliran agama
Buddha itu berarti seorang siswa atau Arahat yang secara tamak menginginkan
Nirvana untuk kesenangan sendiri. Siswa seperti itu, menurut aliran Mahayana
telah berhenti mengikuti Jalan itu pada tingkat ke-7 (tujuh) dari
ke-Bodhisattva-an dan “melewati nirvana-nya” Tetapi setelah seorang Bodhisatva
mencapai tingkat ke-8 (delapan) di sana adalah, kemudian, “tiada lagi perbaikan
yang kritis”, dia melanjutkan sampai pencapaian dan kebijaksanaan sempurna yang
paling tinggi, kembali ke dunia saha dari kebodohan dan penderitaan demi
pembebasan dan penerangannya. Karena itu ucapan dalam Lankavatara Sutra: “Bagi
para Buddha tiada Nirvana”.[27]
Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan
karena kita tidak dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalanya
seseorang tidak dapat mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak
dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor
ikan yang berdebat dengan sahabatnya seekor penyu, yang dengan bangga
mengatakan bahwa tidak ada daratan.
Dalan agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan
hampa melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata
secara tepat. Nibbana adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma,
tidak tercipta”. Karenanya, Nibbana bersifat kekal. (dhuva), damai (santi), dan
bahagia (sukha).
Macam-macam Nibbana.
Dalam Nibbana tidak ada sesuatu yang “ diabadikan” atau
“dimusnahkan”.
Menurut kitab-kitab suci, terdapat dua macam Nibbana, yaitu
Sa-upadisesa-Nibbana dan Anupadisesa- Nibbana. Sesungguhnya ini bukan dua macam
Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara
dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.[28]
Upadisesa
Nirvana yaitu pembebasan atau lenyapnya avidya, avarana, klesavarana,
tetapi tubuh jasmani dan pikiran masih masih berfungsi sebagaimana Siddharta
Gautama Bhodisattva di bawah pohon Bodhi mencapai Samyak-Sambodhi (Shakyamuni
Buddha).
Nirupadisesa Nirvana Yaitu
Pembebasan terakhir dan lenyapnya skandha.
Selain dua keadaan nirvana tersebut bagi Mahayana masih terdapat
suatu nirvana yaitu:
Apratisthita Nirvana yaitu
Bodhisattva yang berkemauan untuk menunda menuju Pembebasan terakhir atas
pilihan sendiri untuk itu dikarenakan maha maitri karuna untuk mengabdikan
dirinya sendiri demi makhluk-makhluk lain.[29]
Sesungguhnya persoalan tentang tak terkatakannya sesuatu di dalam
manusia yang beralih kepada kehidupan baru dan juga tak terkatakannya apa yang
sesungguhnya dimaksud dengan nibbana itu disebabkan oleh pendirian falsafi dan
metafisis, yang diambil oleh buddha. Apabila orang hendak menentukan kedudukan
falsafi Buddha dengan menggunakan filsafat Yunani, maka dapat dikatakan, bahwa
pada upanishad dan sankhya itu persoalan Elastis dan pergumulan
tentang pebgertian substansi itu sangat dititikberatkan, sedang Buddha mewakili
jalan pikiran yang Heraclitis (pantarei) dan memusatkan segala perhatiannya
pada susunan (struktur). Oleh karena itu sangatlah sukarnya untuk turut hidup
di dalam alam pikiran Buddha, sebab kita sebagai pengikut Aristoteles menyusun
seluruh logika dan ontologinya pada dasar itu. “Titik keberangkatan” pikiran
kita didesak ke samping oleh Buddha. Jika orang di dalam perkembangan pikiran
secara berat hendak mencari ajaran yang sejenis dengan yang diberikan di dalam
ajaran-Anatta mengenai si” aku”, maka orang dapat menunjuk kepada Hume dan
semua orang yang ada di bawah pengaruhnya.[30]
Bagaiamana caranya untuk
mencapai Nibbana? Dengan melakasanakan
delapan faktor jalan utama, yaitu Pengertian benar ( samma-ditthi), pikiran
benar (samma-sankappa), ucapan benar (samma-vaca), perbuatan benar
(samma-kammanta), penghidupan benar ( samma-vayama), perhatian benar
(samma-sati), konsentrasi benar (samma-samdhi).
Dalam melaksanakan delapan faktor jalan utama, pengertian benar
berada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada
tujuh faktor jalan utama lainnya. Pada tingkat akhir melaksanakan pengertian
benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna (vipassana panna),
yang langsung membawa kepada tingkat-tingkat kesucian.[31]
“Ketidak kekalan,
sudah tentu, adalah semua benda yang berkondisi. Adalah sifat dasar mereka
untuk terlahir- berlangsung- lenyap. Setelah dihasilkan, mereka dihentikan.
Penghentian mereka membawa kedamaian dan ketentraman.”[32]
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar. Karena itu, faktor
kedua dari jalan utama ini (samma-sankkappa), mempunyai dua tujuan: melenyapkan
pikiran-pikiran jahat dan mengembangkan pikiran baik. Dalam hubungan ini,
pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu:
Nekkhamma:
melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang
berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
Abyapada: cinta
kasih, i’tikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan kebencian,
i’tikad jahat, atau kemarahan.
Avihmsa: tidak kejam
atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejamana atau ketangisan.[33]
Tranformasi mengenai Nirwana di uraikan dengan Istilah negatif
sebagaimana penghancuran mngenai tanda (idaman) dan asavas (godaan) dan istilah
positif sebagaimana timbulnya mngenai prajna atau sambodhi (kebijaksanaan
transendental) dan santi (kedamaian).
Hinayana dan mahayana setuju didalam uraian yang indah
mengenai Nirwana. Hinayana batu loncatan
dari kematian diri sendiri bahwa kita dapat mencapai Nirwana. Sebagaimana Dr.
T. Suzuki menempatkan Nirwana menurut Buddhis, tidaklah menandakan suatu
penghancuran dari kesadaran begitu pula sementara atau penindasan permanent
dari mentation, sebagaimana dikhayalkan oleh sebagian orang tetapi nirwana
adalah penghancuran dari dugaan mengenai hakekat ego dan mengenai semua keinginan
yang timbul dari konsepsi yang keliru ini. (Outlines of mahayana buddhism,
p.50-51).[34]
Azas-azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seorang
yang melangkahkan kakinya menuju Nibbana. Melanggar hal-hal tersebut berarti
menciptakan rintangan pada kemajuan batinya sendiri. Pelaksanaan hal-hal
tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seorang
musafir spiritual akan maju lebih jauh.
Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap denagn mendisiplinkan
segala ucapan dan tingkah lakunya, serta mengendalikan indra-indranya, kekuatan
kamma dari siswa yang sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya untuk
melepaskan kesenangan-kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai Bikkhu,
kemudian dalam dirinya muncul pengertian bahwa: “Kehidupan rumah tangga merupakan medan perjuangan. Penuh dengan
kerja keras dan kebutuhan; tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah tangga
adalah seperti udara terbuka”.[35]
Namun demikian jangan salah tafsir bahwa seiap orang harus menjadi
Bikkhu atau hidup membujang untuk mencapai tujuan akhir. Kemajuan spiritual
seseorang dipercepat dengan menjadi Bikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat
juga mencapai tingkat Arahat. Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga yaitu,
Anagami, seseorang menempuh hidup membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh
di atas fondasi moralitas, kemudian musafir spiritual yang telah memperoleh
kemajuan tersebut mulai pelaksaan yang lebih tinggi, yaitu pengendalian dan
pengembangan batin (samadhi), tingkat kedua pada jalan ini.
Sammadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan
mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.[36]
DAFTAR PUSTAKA
1. Sri
Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha).
2. Mukti Ali (agama-agama dunia).
3. Rampaian Dhamma, panjika
( dpp Persaudaraan Vihara
Theravada Umat Buddha Indonesia ),jakarta pusat, 2000.
4. Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa,
jess peter koffman, thitikwan liamsiriwattana, direvisi oleh Noel Boivin, pustaka
karaniya ke 131, cet-I,
november 2007,
6. Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011),
cet-1
7. Suwato T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jlalan Pintu Besar
Selatan, 1995), cet-1
[1]
Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995),
cet-1, h-647.
[2]
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154.
[3]
Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011), cet-1, h-210.
[4]
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154.
[5]
Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
[6]
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-155.
[7]
Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha
Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
[8]
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-155.
[9]
Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011), cet-1, h-214.
[10]
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-155.
[11]
Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha
Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
[12]
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154.
[13]
Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha
Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
[14]
Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154-158
[15]
Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
[16]
Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha
Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69
[17]
Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha
Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
[18]
Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan
liamsiriwattana, direvisi oleh Noel
Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[19]
Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan
liamsiriwattana, direvisi oleh Noel
Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[20]
Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011), cet-1, h-215.
[21]
Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan
liamsiriwattana, direvisi oleh Noel
Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[23]
Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan
liamsiriwattana, direvisi oleh Noel
Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[24]
Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan
liamsiriwattana, direvisi oleh Noel
Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[26]
Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan
liamsiriwattana, direvisi oleh Noel
Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[27]
Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995),
cet-1, h-645.
[29]
Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995),
cet-1, h-652.
[30]
Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011), cet-1, h-213.
[32]
Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995),
cet-1, h-650.
[34]
Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995),
cet-1, h-651.
0 komentar:
Posting Komentar