Rabu, 22 Mei 2013

nibbana

Disusun Oleh Ahmad Syafiq


NIBBANA


Pendahuluan
Dalam bentuk agama Buddha yang paling tua, akhir dari Jalan itu adalah pencapaian ke-Arahat-an, bila kehidupan telah lewat, menuju Nirvana.
Kemudian apa yang dimaksud dengan Nirwana? Arti dasar dari kata itu adaalah pemadaman dari api bila bahan bakarnya telah semua dihabiskan. Yaitu, dalam Agama Buddha dari aliran selatan (Hinayana), bila api dari hawa nafsu bersifat keduniawian hilang, dan siswa itu menjadi seorang Arahat, bebas dari semua keinginan dan kehidupan yang telah lewat, dia dikatakan telah mencapai Nirvana, atau Pari Nirvana: Dalam Agama Buddha bagian Utara (Mahayana) Nirvana mempunyai pengertian philosofi yang melebihi: Nirvana berarti keadaan di mana tidak hanya api dan hawa nafsu keduniawian telah hilang dan kehidupan keduniawian telah lewat, tetapi semua keinginan berhubungan dengan karma bagi kehidupan individu dipadamkan dan siswa itu telah melewati ke dalam kehidupan yang menyatu dari ke-Buddha-an.[1]
Pengertian Nibbana
            Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan Nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indra, tetapi dengan memadamkannya.[2]
Menurut bunyinya arti nibbana ialah pemadaman. Tetapi akan merupakan suatu kesalah fahaman untuk menafsirkan, bahwa nibbana itu suatu pemadaman kepribadian, sebab kepribadian ini tidak ada, jadi tidak mungkin juga dapat dipadamkan. Janganlah pula orang mengira, bahwa nibbana itu suatu keadaan kebahagiaan yang abadi bagi si aku.[3]
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas, apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk mengetahui apa Nibbana itu sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang bukan Nibbana.
Nibbana bukanlah ketiadaan atau kepenuhan. Apakah Buddha akan meninggalkan keluarga dan  kerajaan-Nya dan berceramah selama 45 tahun-semuanya hanya demi suatu keadilan?
Nibbana bukanlah suatu surga. Berapa abad setelah Buddha, sebagian aliran Buddhisme mulai menggambarkan Nibbana sebagai surga. Tujuan mereka menyetarakan Nibbana dengan alam surgawi adalah untuk meyakinkan orang yang “kurang pintar” dan untuk menarik mereka pada ajaran aliran itu, lalu berjuang menuju Nibbana berarti jadi menjadi mencari suatu tempat yang indah dimana semua hal baik adanya dan semua orang bahagia selamanya. Ini mungkin suatu dongeng yang menyenangkan, tetapi itu bukan Nibbana yang dialami dan diperkenalkan oleh Buddha. Selama hidup-Nya Buddha tidak menyangkal gagasan tentang surga seperti yang dikenal dalam agama-agama awal India,  tetapi itu Buddha mengetahui bahwa surga-surga ini masih termasuk dalam samsara, sementara keterbatasan akhir berada diluar itu. Buddha mampu melihat bahwa jalan menuju Nibbana tertuju lebih dari surga.? Secara tegas, kita tidak dapat bertanya di manakah Nibbana itu.[4]
Nibbana mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep sorga maupun neraka, ataupun arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, maupun Hindu. Radhakrishnan memberikan pengertian nibbana sebagai bebas dari kelahiran kembali, berakhirnya rantai kehidupan, paniadaan keinginan, dendam dan kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana yang mutlak.
            Nibbana mengatasi hubungan relatif antara ada dan tiada, antara being dan non-being. Di dalam Sutta-sutta seperti Angutaranikaya I:152, Samyut-tanikaya IV: 359 dan lain-lain, nibbana dipahami sebagai yang mutlak. Di dalam agama Buddha Mahayana, yang mutlak adalah sunyata, terutama seperti yang digambarkan dalam ajaran Nagaryuna. Namun demikian, semua aliran agama Buddha memandang yang mutlak sebagai tujuan yang terakhir, yaitu nibbana.[5]
Jika Nibbana bukan suatu tempat, lalu di manakah Nibbana itu seperti adanya api. Tidak ada tempat penyimpanan untuk api ataupun untuk Nibbana. Tetapi jika Anda menggosok potongan kayu bersamaan, maka gesekan dan panas adalah kondisi yang tepat bagi api untuk muncul. Demikian juga, jika sifat pikiran manusia sedemikian sehingga bebas dari semua noda, maka kebahagiaan Nibbana akan muncul.
Setiap orang dapat merealisasikan Nibbana, tetapi sebelum mengalami keadaan tertinggi kebahagiaan Nibbana, ia hanya dapat berspekulasi seperti apa itu sebenarnya, sekalipun kita bisa mendapatkannya sekilas dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka yang bersikeras pada teori, teks-teks menawarkan bantuan. Teks-teks menyarankan bahwa Nibbana adalah keadaan kebahagiaan murni yang luar biasa.[6]
Banyak buku yang mengujikan uraian tentang Nibbana telah dituliskan sejak jaman dahulu hingga kini. Nibbana bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi harus dialami. Penjelasan tentang rasa gula terhadap orang yang belum pernah merasakan gula. Hanya dengan merasakan gula, maka orang dapat mengetahui dan menilainya sendiri. Nibbana adalah suatu “keadaan”, seperti diajarkan oleh Sang Buddha, Nibbana adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap. Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbana adalah padamnya keinginan, ikatan-ikatan, napsu-napsu, kekotoran-kekotoran bathin. Dengan demikian, Nibbana adalah Kasunyatan Abadi, tidak dilahirkan (na-uppado-pannayati), tidak termusnah (na vayo-pannayati), ada dan tidak berubah (nathitassannahattan-pannayati). Nibbana disebut Asankhata-Dhamma (keadaan tanpa syarat, tidak berkondisi, yaitu Nibbana). Keadaan ini sulit untuk dipaparkan sebagaimana keadaan gelap yang hanya dapat dikenal jika keadaan terang diketahui. Nibbana dapat dialami jika dukkha telah disadari. Menyadari dukkha berarti menyadari asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha. Lenyapnya dukkha berarti pula lenyapnya sedih dan gembira.
Sedih dan gembira adalah nilai subyektif yang timbul dari pikiran orang yang merupakan refleksi keinginan pribadi, karena refleksi-refleksi tidak mempunyai nialai sejati, maka sedih dan gembira hanya merupakan refleksi “aku” yang khayal. Lenyapnya khayalan itu disebut Nibbana. Jika khayalan “aku” telah terbasmi, maka tiada lagi perubahan-perubahan sedih dan gembira. Itulah yang dimaksud dengan “Nibbana peranan sukkham” (Nibbana Kebahagiaan Tertinggi), bukan kebahagiaan duniawi atau kebahagiaan emosional, melainkan pembebasan mutlak dari segala bentuk ikatan indera dan keiginan rendah (tanha).[7]
Dengan dirinya sendiri, Nibbana cukup tidak dapat dijelaskan dan didefinisikan. Seperti kegelapan hanya dapat dijelaskan dengan lawannya: terang, dan seperti ketenangan hanya dapat dijelaskan oleh lawannya: gerakan, demikian pula Nibbana, sebagai suatu keadaan yang setara dengan pemadaman segala duka dapat dijelaskan dengan lawannya: duka yang dipukul dalam samsara. Seperti kegelapan timbul pada saat tidak ada cahaya, seperti ketenangan muncul pada saat tidak ada gerakan, demikian pula Nibbana ada di mana-mana saat duka, perubahan, dan cemaran batin tidak ada.
Seorang penderita yang menggaruk lukanya dapat mengalami rasa lega sementara. Rasa lega ini hanya memperburuk luka dan memperparah penyakit. Kegembiraan kesembuhan akhir tidak dapat dibandingkan dengan rasa lega sementara yang diperoleh dari garukan, pemuasan nafsu indrawi hanya membawa kepuasan atau kebahagiaan sementara yang justru memperpanjang perjalanan samsara adalah Nibbana. Nibbana adalah akhir dari nafsu yang menyebabkan semua penderitaan kelahiran, usia, tua, penyakit, kematian, kepedihan, ratapan, dan keputusasaan. Kegembiraan penyembuhan Nibbana sulit dibandingkan dengan kesenagan sementara dalam samsara yang diperoleh dari pemenuhan nafsu indrawi.[8]
Dan akhirnya mengenai kesukaran yang besar di dalam ajaran tentang nirwana, timbullah di sini persoalan-persoalan, karena di satu pihak diajarkan kefanaan mutlak dari segala sesuatu di dunia ini, sehingga di dalam manusia dianggap tak terdapat jiwa yang kekal atau sesuatu yang serupa itu, tetapi di lain pihak seluruh pengertian kelepasan itu menunjukkan, bahwa dengan suatu cara harus ada kemungkinan suatu perpindahan dari dunia ini” ke seberang sana”. Dunia mutlak (apa yang dikatakan Buddha tentang nirwana mendekati pengertian semacam itu) memang lain sama sekali daripada dunia ini, sungguh terpisah, tetapi dengan sesuatu cara berhubungan pula dengan dunia ini di dalam arti bahwa perpindahan dari dunia ini ke dunia semesta itu mungkin. Karena dunia mutlak itu tercerai dari dunia ini, maka orang hanya dapat mengatakan secara negatif saja tentang nirwana.[9]  
Tidak disarankan untuk berspekulasi tentang apakah Nibbana itu; lebih baik untuk mengetahui bagaimana menyampaikan kondisi yang diperlukan untuk Nibbana, bagaimana mencapai keheningan dan kebeningan pandangan yang menuju Nibbana. Ikuti nasehat Buddha, praktekan ajaran-Nya. Lenyapkan semua kotoran yang berakar dalam ketamakan (lobha), kebencian (dosa) dan ketakutan (moha). Murnikan batin sendiri dari semua nafsu dan sadari tiadanya inti diri yang mutlak. Jalani hidup dengan tindakan moral yang benar dan secara konstan lakukan meditasi. Dengan upaya aktif, bebaskan diri sendiri dari semua keakuan dan khayalan. Kemudian, Nibbana akan direalisasikan dan  dialami.[10]
Anda seharusnya dapat menjawab dengan benar pertanyaan “Apakah kedamaian itu?”…
Jika Anda bertanya pada anak kecil dan orang dewasa apakah kedamaian itu, jawaban mereka akan sangat berbeda. Jika Anda bertanya pada majikan dan pegawai, apakah kedamaian itu, Anda akan mendapatkan jawaban yang tidak akan pernah cocok. Kedamaian sulit dipahami. Kedamaian tubuh adalah kedamaian materi saja; kedamaian batin adalah kedamaian mental saja. Yang benar, seharusnya kebenaran keduanya…       (Buddhisme on Economics p.16)
Nibbana seharusnya direnungkan sebagai sesuatu yang telah disediakan oleh Alam untuk manusia pada tingkat tertinggi. Kita seharusnya memahami ini sehingga nibbana dan hidup kita tidak berlawanan. (Nibbana for Everyone > Evolution/Liberation Journal: Magha Puja Season 1991 p. 12).[11]
Nibbana dan samsara
Pelajar Buddhisme Mahayana terkemuka, Ngarjuna, berkata bahwa samsara dan Nibbana adalah satu. Penafsiran ini bisa dengan mudah disalahpahami oleh orang lai. Bagaimanapun, menyatakan bahwa samsara dan Nibbana itu sama saja, berarti mengatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hilangnya hal terkondisi dan keadaan tak terkondisi dari Nibbana. Berdasarkan Tipitaka pali, samsara digambarkan sebagai kesinambungan tak terputus dari lima gugus, empat unsur, dan dua belas besar dasar atau sumber proses batin; sedangkan Nibbana digambarkan sebagai pemadaman sumber relatif fisik dan mental itu.
Mereka yang merealisai kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagai manusia. Setelah kematian, hubungan dengan unsur-unsur tersebut akan luruh, karena alasan yang sederhana bahwa Nibbana tidak terkondisi, tidak relatif, atau tidak salin bergantung. Jadi tiada lain bahwa Nibbana adalah “Kebenaran Mutlak”.[12]
Sang  Buddha pernah ditanya apakah seorang Buddha, seseudah mencapai Parinibbana, ada atau tidak ada. Sang Buddah diam dan tidak menjawab. Alasannya ialah bahwa hal itu tidak bermamfaat bagi pembebasan manusia dari dukkha. Pertanyaan timbul karena orang mempunyai kesalah pahaman tentang dualitas antara ada dan tidak ada. Selama paham “aku” masih melekat, mustahil Nibbana dapat tercapai
a)      Dalam Abhidhammatthasangaha, berbunyi sebagai berikut :
“VANA SANKHATAYA TANHAYA NIKKHANTATTA NIBBANAM”
Artinya :
Keadaan yang terbebas dari tanha(keinginan rendah), disebut Nibbana.
b)      Dalam Paramatthadipanitika, berbunyi sebagai berikut :
“NATTHI VANAM ETTHANI NIBBANAM”
Artinya:
Keadaan ketenangan yang timbul dengan terbelahnya dari Tanha ( keinginan rendah), disebut Nibbana.
c)      “TAYIDAM SANTI LAKKHANAM”
Artinya :
Nibbana adalah kebahgiaan yang terbebas dari kilesa (kekotoran bathin)
“NIBBANAM PARAMAM SUKHAM”
Artinya:
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi.[13]
Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan saat ini juga. Ajaran Buddha tidak menyatakan bahwa tujuan akhir itu hanya dapat dicapai dalam kehidupan sesudahnya. Ketika Nibbana direlisasikan dalam hidup ini dengan tubuh masih ada, hal ini disebut Saupadisesa Nibbana. Saat seorang  Araha merealisai Parinibbana, setelah luruhnya tubuh, tanpa sisa keberadaan fisik, hal ini disebut Anupadisesa Nibbana.
Kita harus belajar untuk tidak melekat dari semua hal keduniawian. Jika ada kelekatan terhadap seorang atau sesuatu, atau jika ada keengganan terhadap seseorang atau sesuatu, kita tidak akan pernah merealisasi Nibbana karena Nibbana melampaui semua kelekatan dan keengganan, suka dan tidak suka.
Saat keadaan tertinggi itu tercapai, kita akan memahami sepenuhnya hidup keduniawian yang sekarang ini. Dunia ini akan berhenti menjadi obyek nafsu. Kita akan menyadari ketaktetapan, ketakpuasan, dan ketiadadirian semua yang hidup dan yang tak hidup. Dengan tergantung pada guru atau buku suci tanpa usaha kita sendiri  dengan cara yang benar, sukar untuk meraih penyadaran Nibbana. Mimpi akan buyar. Tidak ada istana yang akan dibangun di udara. Badai akan berlalu. Perjuangan hidup akan usai. Proses alam akan berhenti. Semua kecemasan, kesengsaraan, gangguan, beban, penyakit fisik dan mental, dan emosi akan berakhir setelah merealisasikan keadaan kebahagiaan Nibbana ini.
Mengatakan bahwa Nibbana adalah ketidaan,  semata-mata karena orang tidak mampu merasakannya dengan panca indra, sama tidak logisnya dengan berkata bahwa cahaya itu tidak ada hanya karena orang buta tidak melihatnya. [14]
            Dari paparan di atas tampak bahwa kosepsi ketuhanan dalam aliran Theravada tidak dapat digolongkan ke dalam konsep teisme yang memahami Tuhan sebagai pribadi, melainkan termasuk konsep yang non teis dan sangat berbeda dengan konsep agama lain. Aliran tersebut mengakui adanya Tuhan, namun, seperti ajaran asli Buddha, Tuhan tidak harus dipandang sebagai suatu pribadi yang selalu berhubungan dengan alam semesta dan lainnya beserta isinya.[15]
Pengertian Nibbana yang paling singkat dan menyeluruh adalah berakhirnya proses “menjadi” (dumadi) Dalam Milinda Panha (kitab yang berisi percakapan antara Bhikku Nagasena dan Raja Yunani) dikatakan:
“Nibbana penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan, O Raja. Barang siapa yang mengatur kehidupannya secara sempurna, dengan memahami sifat kehidupan, sesuai dengan ajaran para Buddha, menyadari kehidupan melalui kebijaksanaan (panna), sebagaimana seorang siswa, yang mengikuti petunjuk-petunjuk Sang Guru, menjadikan dirinya seorang nahkoda bagi kapalnya sendiri”.
“Jika Anda bertanya, bagaimana Nibbana dapat diketahui, hal itu dapat diketahui melalui pembebasan dari ketenangan dan bahaya, melalui kedamaian, ketengan, kebahagiaan dan kesucian”.[16]
“sebagaimana seorang, O Raja, yang jatuh ke dalam tungku perapian yang penuh dengan ikatan kayu kering, melalui ushanya yang keras, ia dapat menyelamatkan dirinya dari mencapai sebuah tempat yang sejuk, maka ia akan merasakan kebahagiaan yang luhur, begitupula halnya dengan orang yang hidup dengan benar. Orang demikian, melalui refleksi sungguh-sungguh menyelami kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana setelah panas yang membakar dari tiga api (api keserakahan, api kebencian, api kebodohan bathin) dipadamkan seluruhnya. Tungku perapian menggambarkan tiga api di atas, orang yang sedang terbakar di dalamnya dan telah melepaskan diri menggambarkan dirinya yang menempuh kehidupan dengan benar, sedangkan tempat yang sejuk menggambarkan arti Nibbana”.
“Apakah Nibbana itu suatu tempat?” tanya Raja Milinda. “Nibbana bukanlah suatu tempat, O Raja, tapi nibana itu ada, sebagi mana nyala api, itu ada meskipun  api itu tidak disimpan di suatu tempat tertentu”
“Apakah tiadak tempat berpijak lagi seseorang untuk mencapai Nibbana ?”
“Ya, O Raja, ada tempat seperti itu, tempat itu adalah kebajikan.”
Mereka yang mencapai Nibbana tidak lagi menaruh perhatian terhadap kelangsungan dirinya. Kematian dapat tiba menurut kehendaknya atau setelah umurnya usai. Mereka tidak lagi menimbun Kamma baru, melainkan sekedar menghabiskan Kamma lampaunya.[17]
Kata nibbana berarti “membuat menjadi tenang”…
Ketenangan hati dan kedamaian batin yang diharapkan setiap orang adalah arti dari nibbana.
Menurut Buddha, nibbana adalah akhir dari nafsu, akhir dari kebencian, dan akhir dari khayalan, yang merupakan pemadaman akhir semua api dan ketenangan “paling tenang” yang ada dalam hidup. (No Religion p. 33/ Nibbana for Everyone > Evolution/ Liberation Journal: Magha Puja Season 1991 p. 11, 12)
Kapan saja Anda mengalami ketenangan, catat ketenangan itu dengan sungguh-sungguh di dalam hati Anda, serta tarik nafas dan keluar nafas. Menarik nafas adalah ketenangan, mengeluarkan nafas adalah ketenangan, di dalam tenang, diluar tenang. Lakukan ini sejenak… Inilah jalan terbaik untuk membantu batin kembali pada Sifat Dasar.[18]
…Marilah kita hidup dalam kehidupan pemadaman total, sebuah kehidupan yang menyiram api nafsu keinginan, sebuah kehidupan yang tenang. Saat kita terbakar nafsu, kita mati. Seseorang yang panas di dalam batin seperti iblis di neraka… (Nibbana for Everyone p. 10, 14/ No Religion p.33)
Nibbana adalah kematian Ego sebelum tubuh mati.
Kapan saja kita bertikai karen pendapat, penghargaan, kesombongan, atau sikap keras kepala, hal ini menunjukkan bahwa kita telah kehilangan hubungan dengan nibbana. (The Dawning of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 8/ No Religion p. 35)
Sifat tidak ada sesuatu yang mengganggu pikiran, akan ada kebahagiaan sejati.
Hal ini mungkin terdengar menggelikan bagi Anda, tetapi lenyapnya gangguan adalah kebahagiaan sesungguhnya. (Happiness and Hunger p. 15)[19]
Dengan  demikian sampailah kita pada bagian yang irasional (yang tidak berdasarkan akal) dari kepercayaan itu. Apabila kita sampai pada tempat yang lain, maka kita akan tersesat. Sebab kita telah berusaha untuk mengikuti Buddha di dalam perwartaan ajaran kebahagiannya.[20]
Kehidupan bertahan oleh munculnya secara alami “nibbana-nibbana sementara”; jika tidak, kita semua menjadi penderita gangguan jiwa atau mati dengan segera.
Kita memiliki nibbana sebagai sebuah kebutuhan untuk menopang kehidupan pada semua tingkatan… tetapi kita tidak melihatnya. Jika kita tidak memiliki satu periode di mana pikiran terbebas dari kotoran batin untuk sementara (nibbana sementara), kita akan menjadi penderita gangguan jiwa atau gila dan telah mati sejak lama dahulu.
Jadi kita hendaknya tidak berpikir bahwa kita hrus mengganggu selama puluhan atau ratusan ribu tahun sebelum kita dapat mencapai nibbana, yang sebenarnya telah menopang kehidupan kita setiap saat.[21]
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agma budha, mencakup pengetahuan tentang empat kebenaran mulia. Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya bukan sebagaimana nampaknya. Pada pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam Rohitassa Sutta: “empat kebenaran mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya dua depan beserta kesadaranya”.[22]
Seseorang hendaknya mengatur kehidupan sehari-hari sehingga hidupnya terisi oleh nibbana-ketenangan yang damai. (The Dawing of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 43/ A Buddhis Charter p.35/ The Dawning of Truth: Difficult for Anyone to Believe no. 62)[23]
Nibbana tidak memiliki hubungan apa pun dengan kematian
Kebanyakan orang menunggu untuk mendapat kenikmatan nibbana setelah mati, meskipun mereka semstinya mendapatkannya di sini dan di saat ini.
Nibbana dapat ditemukan pada lingkaran kehidupan bukan sebagai tujuan luar seperti yang sering dipikirkan.
Pemadaman api ada di dalam api, demikian juga pemadaman dukkha ada pada dukkha sendiri… (the Dawning of Truths: Difficult for Anyone to Belive no. 3, 63/ A Buddhist Charter p. 35)
“Kecantikan terdapat di jasad tubuh, ketenangan terdapat di dalam pelepasan, bhikkhu terdapat di dalam kebenaran, nibbana terdapat pada keadaan hampir mati sebelum kematian”. (Legacy We Would Leave with You no. 39)
Nibbana- ketenangan dan kedamaian yang dialami saat tidak ada kemelakatan-tidak membutuhkan biaya sepeser pun.[24]
Dalam membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal. Musafir spiritual berusaha memperbaiki penghidupanya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Budha, yaitu: Memperdagangkan senjata, manusia, binatang-binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.
Bagi para Bikkhu, penghidup salah meliputi perbuatan-perbuatan munafikan cara-cara yang tidak dibenarkan untuk memeperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup seorang Bikkhu.
Usaha benar, terdiri atas empat macam kegiatan yaitu: usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha membengkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.[25]
Yesus mengatakan jumlah biaya yang sama pada hal yang sama. Beliau mengundang kita untuk meminum air kehidupan tanpa biaya. Lebih lanjut, beliau memanggil kita untuk memasuk kedalam kehidupan abadi yang berarti mencapai keadaan dimana kita menjadi satu dengan Tuhan, dan oleh karenanya kita tidak mengalami kematian lagi. (no Religion p. 29)
Nibbana adalah sebuah kondisi yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain dengan cara apapun. Nibbana tidak seperti kondisi keduniawian maupun manapun. Sebenarnya,  nibbana adalah negasi dari kondisi duniawi. Kita tidak dapat menciptakan nibbana karena nibbana melampaui semua sebab dan akibat, tetapi kita dapat menciptakan kondisi untuk merealisasikan nibbana, yang dinamakan segala tindakan yang menuntun kebebasan dari kotoran batin. (Handbook for Mankind p. 151/ Nibbana for Everyone p. 8)
…Hukum Alam, kekososngan, dan nibbana. Ketiganya tidak memiliki pencipta. Bahkan Tuhan tidak dapat menciptakannya karena ketiganya memiliki setatus yang sama sebagai Tuhan. (Legacy we Would Leave with You no. 59).[26]
Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti sampai arus ini dibelokan ke Nibbanadhatu, tujuan akhir umat Budha, istilah Pali “ Nibbana” berasal dari kata ini dan vana. Ni merupakan partikel negative, sedang vana berarti nafsu atau keinginan. “ Disebut Nibbana, karena terbebas dari nafsu yang disebut vana, keinginan”. Secara harfiah, Nibbana berarti terbebas dari kemelekatan.
Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserekahan, kebencian dan  kebodohan. Sang Buddha bersabda: “seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa? Terbakar oleh api keserakahan, kebencian, dan kebodohan, oleh api kelahiran, usia tua, kematian, kesakitan, duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah”.
Istilah Praktyabuddha digunakan oleh kedua aliran agama Buddha itu berarti seorang siswa atau Arahat yang secara tamak menginginkan Nirvana untuk kesenangan sendiri. Siswa seperti itu, menurut aliran Mahayana telah berhenti mengikuti Jalan itu pada tingkat ke-7 (tujuh) dari ke-Bodhisattva-an dan “melewati nirvana-nya” Tetapi setelah seorang Bodhisatva mencapai tingkat ke-8 (delapan) di sana adalah, kemudian, “tiada lagi perbaikan yang kritis”, dia melanjutkan sampai pencapaian dan kebijaksanaan sempurna yang paling tinggi, kembali ke dunia saha dari kebodohan dan penderitaan demi pembebasan dan penerangannya. Karena itu ucapan dalam Lankavatara Sutra: “Bagi para Buddha tiada Nirvana”.[27]
Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan karena kita tidak dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalanya seseorang tidak dapat mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya seekor penyu, yang dengan bangga mengatakan bahwa tidak ada daratan.
Dalan agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan hampa melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata secara tepat. Nibbana adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta”. Karenanya, Nibbana bersifat kekal. (dhuva), damai (santi), dan bahagia (sukha).
Macam-macam Nibbana.
Dalam Nibbana tidak ada sesuatu yang “ diabadikan” atau “dimusnahkan”.
Menurut kitab-kitab suci, terdapat dua macam Nibbana, yaitu Sa-upadisesa-Nibbana dan Anupadisesa- Nibbana. Sesungguhnya ini bukan dua macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.[28]
            Upadisesa Nirvana yaitu pembebasan atau lenyapnya avidya, avarana, klesavarana, tetapi tubuh jasmani dan pikiran masih masih berfungsi sebagaimana Siddharta Gautama Bhodisattva di bawah pohon Bodhi mencapai Samyak-Sambodhi (Shakyamuni Buddha).
Nirupadisesa Nirvana Yaitu Pembebasan terakhir dan lenyapnya skandha.
Selain dua keadaan nirvana tersebut bagi Mahayana masih terdapat suatu nirvana yaitu:
Apratisthita Nirvana yaitu Bodhisattva yang berkemauan untuk menunda menuju Pembebasan terakhir atas pilihan sendiri untuk itu dikarenakan maha maitri karuna untuk mengabdikan dirinya sendiri demi makhluk-makhluk lain.[29]
Sesungguhnya persoalan tentang tak terkatakannya sesuatu di dalam manusia yang beralih kepada kehidupan baru dan juga tak terkatakannya apa yang sesungguhnya dimaksud dengan nibbana itu disebabkan oleh pendirian falsafi dan metafisis, yang diambil oleh buddha. Apabila orang hendak menentukan kedudukan falsafi Buddha dengan menggunakan filsafat Yunani, maka dapat dikatakan, bahwa pada upanishad dan sankhya itu persoalan Elastis dan pergumulan tentang pebgertian substansi itu sangat dititikberatkan, sedang Buddha mewakili jalan pikiran yang Heraclitis (pantarei) dan memusatkan segala perhatiannya pada susunan (struktur). Oleh karena itu sangatlah sukarnya untuk turut hidup di dalam alam pikiran Buddha, sebab kita sebagai pengikut Aristoteles menyusun seluruh logika dan ontologinya pada dasar itu. “Titik keberangkatan” pikiran kita didesak ke samping oleh Buddha. Jika orang di dalam perkembangan pikiran secara berat hendak mencari ajaran yang sejenis dengan yang diberikan di dalam ajaran-Anatta mengenai si” aku”, maka orang dapat menunjuk kepada Hume dan semua orang yang ada di bawah pengaruhnya.[30] 
JALAN KE NIBBANA
Bagaiamana caranya  untuk mencapai Nibbana?  Dengan melakasanakan delapan faktor jalan utama, yaitu Pengertian benar ( samma-ditthi), pikiran benar (samma-sankappa), ucapan benar (samma-vaca), perbuatan benar (samma-kammanta), penghidupan benar ( samma-vayama), perhatian benar (samma-sati), konsentrasi benar (samma-samdhi).
Dalam melaksanakan delapan faktor jalan utama, pengertian benar berada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada tujuh faktor jalan utama lainnya. Pada tingkat akhir melaksanakan pengertian benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna (vipassana panna), yang langsung membawa kepada tingkat-tingkat kesucian.[31]
            “Ketidak kekalan, sudah tentu, adalah semua benda yang berkondisi. Adalah sifat dasar mereka untuk terlahir- berlangsung- lenyap. Setelah dihasilkan, mereka dihentikan. Penghentian mereka membawa kedamaian dan ketentraman.”[32]
Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar. Karena itu, faktor kedua dari jalan utama ini (samma-sankkappa), mempunyai dua tujuan: melenyapkan pikiran-pikiran jahat dan mengembangkan pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu:
         Nekkhamma: melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
         Abyapada: cinta kasih, i’tikad baik, atau kelemah-lembutan yang berlawanan dengan kebencian, i’tikad jahat, atau kemarahan.
         Avihmsa: tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejamana atau ketangisan.[33]
Tranformasi mengenai Nirwana di uraikan dengan Istilah negatif sebagaimana penghancuran mngenai tanda (idaman) dan asavas (godaan) dan istilah positif sebagaimana timbulnya mngenai prajna atau sambodhi (kebijaksanaan transendental) dan santi (kedamaian).
Hinayana dan mahayana setuju didalam uraian yang indah mengenai  Nirwana. Hinayana batu loncatan dari kematian diri sendiri bahwa kita dapat mencapai Nirwana. Sebagaimana Dr. T. Suzuki menempatkan Nirwana menurut Buddhis, tidaklah menandakan suatu penghancuran dari kesadaran begitu pula sementara atau penindasan permanent dari mentation, sebagaimana dikhayalkan oleh sebagian orang tetapi nirwana adalah penghancuran dari dugaan mengenai hakekat ego dan mengenai semua keinginan yang timbul dari konsepsi yang keliru ini. (Outlines of mahayana buddhism, p.50-51).[34]  
Azas-azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seorang yang melangkahkan kakinya menuju Nibbana. Melanggar hal-hal tersebut berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinya sendiri. Pelaksanaan hal-hal tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.
Dengan mendisiplinkan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seorang musafir spiritual akan maju lebih jauh.
Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap denagn mendisiplinkan segala ucapan dan tingkah lakunya, serta mengendalikan indra-indranya, kekuatan kamma dari siswa yang sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya untuk melepaskan kesenangan-kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai Bikkhu, kemudian dalam dirinya muncul pengertian bahwa: “Kehidupan rumah tangga  merupakan medan perjuangan. Penuh dengan kerja keras dan kebutuhan; tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah tangga adalah seperti udara terbuka”.[35]
Namun demikian jangan salah tafsir bahwa seiap orang harus menjadi Bikkhu atau hidup membujang untuk mencapai tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat dengan menjadi Bikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat juga mencapai tingkat Arahat. Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga yaitu, Anagami, seseorang menempuh hidup membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas, kemudian musafir spiritual yang telah memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksaan yang lebih tinggi, yaitu pengendalian dan pengembangan batin (samadhi), tingkat kedua pada jalan ini.
Sammadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.[36]


DAFTAR PUSTAKA
1. Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha).
2. Mukti Ali (agama-agama dunia).
3. Rampaian Dhamma, panjika
    ( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ),jakarta pusat, 2000.
4. Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa,
jess peter koffman, thitikwan      liamsiriwattana,  direvisi oleh Noel Boivin, pustaka karaniya           ke 131, cet-I, november 2007,
6. Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011), cet-1

7. Suwato T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jlalan Pintu Besar Selatan, 1995), cet-1




      




[1] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995), cet-1, h-647.
[2] Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154.
[3] Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011), cet-1, h-210.

[4] Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154.
[5] Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
[6] Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-155.
[7] Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
[8] Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-155.
[9] Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011), cet-1, h-214.
[10] Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-155.
[11] Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.  
[12] Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154.
[13] Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
[14] Sri Dhammananda, (Keyakinan Umat Buudha), h-154-158
[15] Mukti Ali (agama-agama dunia), h-116.
[16] Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69
[17] Rampaian Dhamma, panjika( dpp Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia ),jakarta pusat, 2000, h-69.
[18] Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan liamsiriwattana,  direvisi oleh Noel Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[19] Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan liamsiriwattana,  direvisi oleh Noel Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[20] Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011), cet-1, h-215.
[21] Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan liamsiriwattana,  direvisi oleh Noel Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[23] Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan liamsiriwattana,  direvisi oleh Noel Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[24] Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan liamsiriwattana,  direvisi oleh Noel Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[26] Practical Buddhism warisan bhikkhu buddhadasa, jess peter koffman, thitikwan liamsiriwattana,  direvisi oleh Noel Boivin, pustaka karaniya ke-131, cet-I, november 2007, h- 210.
[27] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995), cet-1, h-645.
[29] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995), cet-1, h-652.
[30] Honig, A.G, Ilmu Agama, (Gunung Mulia, Kwitang, Jakarta, 2011), cet-1, h-213.
[32] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995), cet-1, h-650.
[34] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta Jalan Pintu Besar Selatan, 1995), cet-1, h-651.

0 komentar:

Posting Komentar