disusu oleh Mylinda Khoirunissa
Kelompok Awam Buddha
Kelompok Awam Buddha
A.
Pendahuluan
Sangha
adalah inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan
untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana. Dari umat Buddha sangha
patut menerima pemberian (ahu-neyyo),
tempat berteduh (pahuneyyo),
persembahan (dakkhineyyo),
penghormatan (anjalikarananiyo), dan
merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
Menurut kepercayaan umat
Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dan dharma dan Buddha, karena kegiatannya
adalah Triratna yang membentuk kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi
berasas tiga dari Yang Mutlak di dunia.
Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang
artinya permata / mustika; yang maknanya sangat berharga. Jadi, arti Tiratana
secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga Mustika) yang nilainya tidak bisa
diukur; karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang perlu sekali
dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha.
Dalam
naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari
makhluk-makhluk suci atau ariya-puggala. Mereka
adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang
ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna.
Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami
dan arahat. [1]
Secara
kelembagaan, umat Buddha dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
masyarakat kewiharaan atau sangha dan kelompok masyarakat awam. Kelompok
pertama terdiri dari para Bhikkhu, Bhikkhuni, samanera dan samaneri. Mereka
menjalani kehidupan suci untuk meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan
kesusilaan serta tidak menjalani hidup keluarga. Kelompok masyarakat awam
terdiri dari upasaka dan upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada
Buddha, dharma dan sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat
awam dan hidup berumah tangga.
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya- puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sotapatti, sakadagami, anagami dan arahat.
Dalam sejarah agama Budha, sangha dibentuk sendiri oleh sang Budha beberapa minggu setelah ia mencapai pencerahan. Anggotanya yang pertama adalah Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan Asaji, yaitu murid-murid sang Buddha yang pertama kali. Di antara mereka, Kondana adalah murid pertama yang mencapai tingkat arahat.
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya- puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sotapatti, sakadagami, anagami dan arahat.
Dalam sejarah agama Budha, sangha dibentuk sendiri oleh sang Budha beberapa minggu setelah ia mencapai pencerahan. Anggotanya yang pertama adalah Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan Asaji, yaitu murid-murid sang Buddha yang pertama kali. Di antara mereka, Kondana adalah murid pertama yang mencapai tingkat arahat.
Sangha adalah
inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk
mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana. Namun demikian, sangha tidak
mempunyai kewajiban apapun terhadap umat Buddha yang bersifat lahiriah.
Hubungan yang terjalin adalah hubungan yang bersifat rohaniah. Anggota sangha
adalah teladan dari cara hidup yang suci, menyampaikan dharma atas permintaan
umat dan membantu mereka dengan nasihat maupun penerangan batin dalam suka dan
duka. Dari umat Buddha sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo),
tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkineyyo),
penghormatan (anjalikarananiyo), dan merupakan lapangan untuk menanam
jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
Menurut
kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dari Dharma dan Buddha,
karena ketiganya adalah Triratna yang membentuk kesatuan tunggal yang merupakan
manifestasi berasas tiga dari Yang Mutlak di dunia. Hubungan antara ketiganya
sering digambarkan sebagai berikut : “Budha sang bulan purnama, dharma sebagai
sinarnya yang menyinari dunia, dan sangha sebagai dunia yang berbahagia menerima
sinar tersebut”. Dengan kata lain, Buddha digambarkan sebagai orang yang
membakar hutan,yaitu kekotoran batin, dan sangha sebagai lapangan terbuka untuk
menanam padi,atau jasa, setelah hutan habis terbakar.
Sebagai suatu
bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka bagi setiap umat Buddha untuk
memasuki dan bergabung di dalamnya, dengan melalui tahap-tahap tertentu. Tahap
pertama dimulai ketika umat Buddha
menerima jubah kuning dan memasuki persaudaraan para Bikkhu. Tahap ini dikenal
dengan saat keluar dari kehidupan umat awam untuk memasuki hidup kewiharaan
tanpa memiliki rumah tempat tinggal dan hidup sebagai pertapa. Sebelum secara penuh diterima
sebagai seorang bhikku, ia diharuskan
untuk menjalani hidup sebagai calon bhikkhu atau samanera dengan mengucapkan
dan menepati “dasa sila atau sepuluh janji”, tekun mempelajari dharma,
menggunakan waktu luangnya untuk perenunggan suci dibawah asuhan seorang
bhikkhu atau guru (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah ia dapat bmelakukan
semua itu, maka ia diterima secara penuh sebagai bhikkhu dalam suatu upacara
penahbisan (upasampada) yang dihadiri oleh para sesepuh (thera-thera). [2]
B.
Kelompok Awam Budha
Kaum awam, ialah yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaanya dan tetap hidup di dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakekatnya para kaum awam tidak dapat mencapai nirwana. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah sangat penting, mereka sudah bverada pada awal jalan yang menuju kepada kelepasan.[3]
Pada umumnya yang dimaksud dengan umat Budha yang awam terdiri dari
orang-orang yang telah mengakui Sang Budha sebagai pemimpin dan gurunya,
mengakui dan meyakini kebenaran ajaran Budha serta berusaha dengan
sungguh-sungguh melaksanakan ajarannya. Mereka yang mengakui keagamaan Budha
ini disebut Upasaka dan Upasaki.
Pengakuan terhadap
agama Budha tersebut dinyatakan dengan niat dan tekad untuk berlindung kepada
Budha, Dharma dan Sangha dengan mengucapkan ‘Trisarana’ yang berbunyi:
‘Buddhang
Saranang Gacchani, Dhammang Saranang Gacchani, Sanghang sarang Gacchani’.
Artinya :
‘Saya
berlindung kepada Budha, saya berlindung kepada Dharma, saya berlindung kepada
Sangha’.
Setelah
mengucapkan Trisarana tersebut seorang Upasaka atau Upasaki terikat secara
Rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Budha dalam
kehidupannya sehari-hari.
Dilihat dari
tingkatan pemahaman seseorang terhadap ajaran Budha dan tanggung jawab
keagamaannya, maka kelompok masyarakat Budha Awami ini dapat dibedakan sebagai
berikut :
1. Upasaka dan
Upasaki yang benar-benar awam keagamaannya.
2. Yang disebut
Bala Anupandita, Anu Pandita dan Pandita
adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan bergabung
dalam organisasi umat Budha.
3. Maha Upasaka,
ialah para pandita yang mengurus administrasi dan soal-soal teknis.
4. Maha Pandita
adalah para Pandita yang mengurus khusus masalah keagamaan.
5. Anagarika
adalah orang awam Budha yang diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
mengamalkan ajaran Budha Gautama.[4]
Masyarakat awam umat Budha
terdiri atas upasaka dan upasaki yang telah mengakui Sang Budha sebagai
pemimpin dan guru, mengakui dan meyakini kebenaran ajarannya, serta berusaha
dengan sungguh-sungguh menjalankannya. Pengakuan tersebut dinyatakan dalam niat
dan tekad untuk berlindung kepada Budha, dharma dan sangha dengan mengucapkan
trisarana, yaitu: “ Buddhang saranang gacchami, saya berlindung kepada Buddha.
Dhamang saranang Gacchami, saya berlindung kepada dharma. Sanghang saranang
gacchami,saya berlindung kepada sangha”. Setelah mengucapkan Trisarana tersebut,
seorangg upasaka atau upasaki terikat secara rohaniah untuk melaksanakan dan
mengamalkan ajaran sang Budha dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam pemahaman
dan pengalaman ajaran Sang Budha, masyarakat awam Budha terdiri atas upasaka-
upasaki, bala anupandita, anupandita, pandita, mahaupasaka, mahapandita dan
tertinggi adalah anagarika. Upasaka-upasaki adalah kelompok awam, sedang bala
anupandita,anupandita serta pandita adalah orang awam yang menjalankan tugas sebagai
penyebar dharma dan bergabung dalam organisasi umat Budha.setelah pandita,
seseorang dapat menjadi mahaupasaka, yaitu yang mengurus masalah-masalah
administratif teknis maupun menjadi mahapandita yang mengkhususkan diri pada
masalah-masalah keagamaan. Adapun anagarika adalah orang awam umat Budha yang
diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengajarkan ajaran Budha
Gautama. Dalam masyarakat umat Budha, kelompok-kelompok upasaka-upasaki
berperan secara aktif dalam pengalaman dan penyebaran agama Budha di
tengah-tengah masyarakat, karena adanya keterbatasan-keterbatasan kelompok
kewiharaan (sangha) dalam usaha penyebaran agama Buddha.[5]
Sekalipun
pencapaian Nibbana tujuan terakhir, latihan kerohanian Buddhis terbuka bagi
para Bhikkhu maupun umat awam, namun kesibukan-kesibukan duniawi seorang awam
merupakan hambatan yang jauh lebih besar baginya dibandingkan dengan hambatan
yang dialami olehseorang Bhikkhu untuk mencapainya. Pangeran Jayasena minta
kepada Samanera Aggivesana untuk diajar Dhamma. Pada akhir khotbah sang
pangeran mengeluh bahwa apa yang baru dikhotbahkan itu tidak mungkin dicapai olehnya. Sang
Buddha yang mendengar hal itu bersabda: “Tidak mungkin bagi Sang Pangeran yang
hidup ditengah-tengah kenikmatan indra...menikmati...dilanda...terbakar... haus
akan kenikmatan indra yang lebih banyak, untuk mencapai apa yang dapat dicapai melalui
penolakan kenikmatan indra.” Beliau mengambil perumpamaan empat ekor binatang:
dua diantaranya dapat dijinakkan dan yang lain tetap liar; dan perumpamaan dua
orang yang mandaki gunung: yang satu berhasil mencapai puncak dan melihat
pemandangan disekelilingnya, sedangkan yang lain tetap berada di kaki gunung (Majjhima
Nikaya, HI, hal. 128 dst.)
Dalam kehidupan
sehari-hari seorang umat awam diminta untuk menyatakan berlindung pada Buddha,
Dhamma dan Sangha, serta menjalankan pancasila (Buddhis). Selanjutnya ia
dianjurkan untuk menepati sepuluh pokok tindakan baik (dasakusalakamma):
1.
Menghindari pembunuhan, dan mengembangkan cinta-kasih kepada sesama
makhluk hidup;
2.
Menghindari pencurian; dan bersikap jujur dan tulus serta berusaha
membantu untuk meringankan penderitaan orang lain;
3.
Menghindari perbuatan asusila; dan menepati tatasusila dalam
masyarakat;
4.
Menghindari kebohongan untuk kepentingan diri sendiri atau orang
lain;
5.
Menghindari fitnah; yang dapat menimbulkan permusuhan; sebaliknya
berusaha menjadi penengah untuk merukunkan perselisihan;
6.
Menghindari ucapan kasar; dan berbicara secara lembut dan menyenangkan;
7.
Menghindari omong-kosong;
dan berbicara pada waktu yang tepat tentang hal-hal yang benar,
berdasarkan fakta, berhubungan dengan Dhamma Vinaya, bermakna, disertai
contoh-contoh diperhitungkan lebih dulu dan bermanfaat;
8.
Menghindari keserakaan; dan tidak merasa iri terhadap keuntungan dan kemakmuran orang lain;
9.
Menghindari itikad jahat; dan tidak menyimpan pikiran buruk
(terhadap orang lain);
10.
Menghindari pandangan salah; dan menganut pandangan benar: percaya
akan kehidupan yang akan datang, akan ganjaran moral, akan kewajiban, dan akan
guru-guru rohani yang telah menjalani hidup suci dan mencapai pandangan
terang...”
Selanjutnya
orang dianjurkan percaya diri, hidup saleh, bermasalah dan tidak
bermalas-malas, waspada, seimbang dan memiliki pengertian... (Anggutara
Nikaya, V, hal. 335 dst.)... memupuk
simpati masyarakat dengan menjalankan empat prinsip pendukung: (1) kemurahan
hati; (2) ucapan menyenangkan; (3) suka menolong; (4) tidak memihak. (Jataka,
VI, hal. 286). Di tempat lain Sang Buddha memberi teladan lebih rinci
tentang kehidupan baik di tengah-tengah
masyarakat: berbuat baik dengan pikiran, ucapan dan tindakan; melakukan
kegiatan untuk kepentingan orang banyak; taat dan hormat kepada pemimpin atau
orang yang lebih tua; ... mmelenyapkan ketakutan dikalangan masyarakat;
melindungi mereka yang perlu dilindungi, menyediakan kebutuhan sehari-hari...,
hidup sederhana dan penuh dengan welas asih..; mempelajari ilmu pengetahuan dan
kesenian... mendatangi dan belajar dari orang-orang suci ... ; hidup
tenang,tanpa amarah, dan tidak mencari-cari kesalahan orang lain ... ;
merukunkan golongan-golongan dalam masyarakat untuk hidup bersama secara serasi ..; dapat memahami, meneliti
dan memilah-milah watak orang yang berbeda..; memperhatikan kepentingan,
kesejahteraan, keamanan dan kemantapan masyarakat; memikirkan bagaimana cara
meningkatkan kepercayaan, moral, pendidikan, kemurahan, kkelurusan, kecerdasan,
binatang ...; dengan batin yang tulus, terbbuka kecerdasan, binatang ...;
dengan batin yang tulus, terbuka daan luhur mmenatap orang dengan pandangan
penuh kasih ... membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan cara penghidupan salah
...; menolak segala macam penipuan dan perlakuan tidak adil serta segala
tindakan kekerasan. (Digha Nikaya III, hal.
145 dst.). hubungan kekeluargaan yangg saleh sangat ditekankan dalam Agama Buddha: umat awam
dianjurkan untuk menyokong orang-orang suci, mohon nasihat mereka, memelihara kitab-kitab
suci... menghormati orang-orang saleh dan terpelajar ... menyokong orang tua,
mengerjakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, melaksanakan tanggungjawab
terhadap istri dan anak... bawahan dan pelayan, (Anguttara Nikaya IV, hal.
44 dst.) “ Selama aku hidup aku akan menyokong orang tuaku di rumah, menghormati
atasan dan yang lebih tua, mengucapkan kata-kata lembbut, tak akan membicarakan
keburukan di belakang punggung, hidup berumah tangga bebas dari hati noda
mementingkan diri sendiri, murah hati dan terbuka tangan... berkata benar, dan tak diperbudak oleh nafsu
amarah”. Orang demikian dinamakan oleh Sang Buddha sebagai “ Orang yang baik
dan berharga” (Samnyuta Nikaya I, hal.
228). [6]
Kelompok
masyarakat awam meliputi semua umat Buddha yang tidak termasuk dalam kelompok
masyarakat keviharaan. Mereka menempuh hidup berumah tangga. Kelompok ini
terdiri atas upasaka (pria) dan upasika (wanita) yaitu mereka yang telah
menyatakan diri untuk berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha serta
melaksanakan prinsip-prinsip moralitas (sila) bagi umat awam.[7]
Daftar
Pustaka
2.
Ali,Mukti, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta:
IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,1988)
4.
Hadikusuma,Hilman
Antropologi Agama (Bandung:
PT.CITRA ADITYA BAKTI,1993
5.
Wowor,Cornelis, Pandangan Sosial Agama Buddha ( CV.
Nitra Kencana Buana)
6.
http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_dw_40.shtml
[1] http://ilhamalik.blogspot.com/2012/05/makna-puja-doa-hari-suci-tempat-suci.html
[2] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia
(Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,1988), h 129-131
[3]http://budhisme10.blogspot.com/2012/05/pengertian-dasar-budha-dharma-tri-ratna.html
[4]Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama (Bandung: PT.CITRA ADITYA BAKTI,1993)
hal.238-239
[6] Cornelis Wowor, Pandangan Sosial Agama
Buddha ( CV. Nitra Kencana Buana), h.47-52
[7] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_dw_40.shtml
0 komentar:
Posting Komentar