Rabu, 22 Mei 2013

buddha awam

disusu oleh Mylinda Khoirunissa
Kelompok Awam Buddha
A.   Pendahuluan

            Sangha adalah inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana. Dari umat Buddha sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo), penghormatan (anjalikarananiyo), dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
                        Menurut kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dan dharma dan Buddha, karena kegiatannya adalah Triratna yang membentuk kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi berasas tiga dari Yang Mutlak di dunia.
Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang artinya permata / mustika; yang maknanya sangat berharga. Jadi, arti Tiratana secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga Mustika) yang nilainya tidak bisa diukur; karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang perlu sekali dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha.
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya-puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sottapati, sakadagami, anagami dan arahat. [1]
Secara kelembagaan, umat Buddha dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat kewiharaan atau sangha dan kelompok masyarakat awam. Kelompok pertama terdiri dari para Bhikkhu, Bhikkhuni, samanera dan samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan serta tidak menjalani hidup keluarga. Kelompok masyarakat awam terdiri dari upasaka dan upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, dharma dan sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hidup berumah tangga.
Dalam naskah-naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari makhluk-makhluk suci atau ariya- puggala. Mereka adalah makhluk-makhluk suci yang telah mencapai buah kehidupan beragama yang ditandai oleh kesatuan dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkatan kesucian yang telah mereka capai terdiri dari sotapatti, sakadagami, anagami dan arahat.
            Dalam sejarah agama Budha, sangha dibentuk sendiri oleh sang Budha beberapa minggu setelah ia mencapai pencerahan. Anggotanya yang pertama adalah Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan Asaji, yaitu murid-murid sang Buddha yang pertama kali. Di antara mereka, Kondana adalah murid pertama yang mencapai tingkat arahat.
Sangha adalah inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana. Namun demikian, sangha tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap umat Buddha yang bersifat lahiriah. Hubungan yang terjalin adalah hubungan yang bersifat rohaniah. Anggota sangha adalah teladan dari cara hidup yang suci, menyampaikan dharma atas permintaan umat dan membantu mereka dengan nasihat maupun penerangan batin dalam suka dan duka. Dari umat Buddha sangha patut menerima pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkineyyo), penghormatan (anjalikarananiyo), dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
            Menurut kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dari Dharma dan Buddha, karena ketiganya adalah Triratna yang membentuk kesatuan tunggal yang merupakan manifestasi berasas tiga dari Yang Mutlak di dunia. Hubungan antara ketiganya sering digambarkan sebagai berikut : “Budha sang bulan purnama, dharma sebagai sinarnya yang menyinari dunia, dan sangha sebagai dunia yang berbahagia menerima sinar tersebut”. Dengan kata lain, Buddha digambarkan sebagai orang yang membakar hutan,yaitu kekotoran batin, dan sangha sebagai lapangan terbuka untuk menanam padi,atau jasa, setelah hutan habis terbakar.
            Sebagai suatu bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka bagi setiap umat Buddha untuk memasuki dan bergabung di dalamnya, dengan melalui tahap-tahap tertentu. Tahap pertama dimulai ketika  umat Buddha menerima jubah kuning dan memasuki persaudaraan para Bikkhu. Tahap ini dikenal dengan saat keluar dari kehidupan umat awam untuk memasuki hidup kewiharaan tanpa memiliki rumah tempat tinggal dan hidup sebagai  pertapa. Sebelum secara penuh diterima sebagai  seorang bhikku, ia diharuskan untuk menjalani hidup sebagai calon bhikkhu atau samanera dengan mengucapkan dan menepati “dasa sila atau sepuluh janji”, tekun mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya untuk perenunggan suci dibawah asuhan seorang bhikkhu atau guru (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah ia dapat bmelakukan semua itu, maka ia diterima secara penuh sebagai bhikkhu dalam suatu upacara penahbisan (upasampada) yang dihadiri oleh para sesepuh (thera-thera).   [2]
B.   Kelompok Awam Budha

      Kaum awam, ialah yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaanya dan tetap hidup di dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakekatnya para kaum awam tidak dapat mencapai nirwana. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah sangat penting, mereka sudah bverada pada awal jalan yang menuju kepada kelepasan.[3]
Pada umumnya yang dimaksud dengan umat Budha yang awam terdiri dari orang-orang yang telah mengakui Sang Budha sebagai pemimpin dan gurunya, mengakui dan meyakini kebenaran ajaran Budha serta berusaha dengan sungguh-sungguh melaksanakan ajarannya. Mereka yang mengakui keagamaan Budha ini disebut Upasaka dan Upasaki.
            Pengakuan terhadap agama Budha tersebut dinyatakan dengan niat dan tekad untuk berlindung kepada Budha, Dharma dan Sangha dengan mengucapkan ‘Trisarana’ yang berbunyi:
‘Buddhang Saranang Gacchani, Dhammang Saranang Gacchani, Sanghang sarang Gacchani’.
            Artinya :
‘Saya berlindung kepada Budha, saya berlindung kepada Dharma, saya berlindung kepada Sangha’.
Setelah mengucapkan Trisarana tersebut seorang Upasaka atau Upasaki terikat secara Rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Budha dalam kehidupannya sehari-hari.
Dilihat dari tingkatan pemahaman seseorang terhadap ajaran Budha dan tanggung jawab keagamaannya, maka kelompok masyarakat Budha Awami ini dapat dibedakan sebagai berikut :
1.      Upasaka dan Upasaki yang benar-benar awam keagamaannya.
2.      Yang disebut Bala Anupandita, Anu Pandita  dan Pandita adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan bergabung dalam organisasi umat Budha.
3.      Maha Upasaka, ialah para pandita yang mengurus administrasi dan soal-soal teknis.
4.      Maha Pandita adalah para Pandita yang mengurus khusus masalah keagamaan.
5.      Anagarika adalah orang awam Budha yang diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengamalkan ajaran Budha Gautama.[4]
 Masyarakat awam umat Budha terdiri atas upasaka dan upasaki yang telah mengakui Sang Budha sebagai pemimpin dan guru, mengakui dan meyakini kebenaran ajarannya, serta berusaha dengan sungguh-sungguh menjalankannya. Pengakuan tersebut dinyatakan dalam niat dan tekad untuk berlindung kepada Budha, dharma dan sangha dengan mengucapkan trisarana, yaitu: “ Buddhang saranang gacchami, saya berlindung kepada Buddha. Dhamang saranang Gacchami, saya berlindung kepada dharma. Sanghang saranang gacchami,saya berlindung kepada sangha”. Setelah mengucapkan Trisarana tersebut, seorangg upasaka atau upasaki terikat secara rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran sang Budha dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam pemahaman dan pengalaman ajaran Sang Budha, masyarakat awam Budha terdiri atas upasaka- upasaki, bala anupandita, anupandita, pandita, mahaupasaka, mahapandita dan tertinggi adalah anagarika. Upasaka-upasaki adalah kelompok awam, sedang bala anupandita,anupandita serta pandita adalah orang awam yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan bergabung dalam organisasi umat Budha.setelah pandita, seseorang dapat menjadi mahaupasaka, yaitu yang mengurus masalah-masalah administratif teknis maupun menjadi mahapandita yang mengkhususkan diri pada masalah-masalah keagamaan. Adapun anagarika adalah orang awam umat Budha yang diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengajarkan ajaran Budha Gautama. Dalam masyarakat umat Budha, kelompok-kelompok upasaka-upasaki berperan secara aktif dalam pengalaman dan penyebaran agama Budha di tengah-tengah masyarakat, karena adanya keterbatasan-keterbatasan kelompok kewiharaan (sangha) dalam usaha penyebaran agama Buddha.[5]   
            Sekalipun pencapaian Nibbana tujuan terakhir, latihan kerohanian Buddhis terbuka bagi para Bhikkhu maupun umat awam, namun kesibukan-kesibukan duniawi seorang awam merupakan hambatan yang jauh lebih besar baginya dibandingkan dengan hambatan yang dialami olehseorang Bhikkhu untuk mencapainya. Pangeran Jayasena minta kepada Samanera Aggivesana untuk diajar Dhamma. Pada akhir khotbah sang pangeran mengeluh bahwa apa yang baru dikhotbahkan  itu tidak mungkin dicapai olehnya. Sang Buddha yang mendengar hal itu bersabda: “Tidak mungkin bagi Sang Pangeran yang hidup ditengah-tengah kenikmatan indra...menikmati...dilanda...terbakar... haus akan kenikmatan indra yang lebih banyak, untuk mencapai apa yang dapat dicapai melalui penolakan kenikmatan indra.” Beliau mengambil perumpamaan empat ekor binatang: dua diantaranya dapat dijinakkan dan yang lain tetap liar; dan perumpamaan dua orang yang mandaki gunung: yang satu berhasil mencapai puncak dan melihat pemandangan disekelilingnya, sedangkan yang lain tetap berada di kaki gunung (Majjhima Nikaya, HI, hal. 128 dst.)          
            Dalam kehidupan sehari-hari seorang umat awam diminta untuk menyatakan berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, serta menjalankan pancasila (Buddhis). Selanjutnya ia dianjurkan untuk menepati sepuluh pokok tindakan baik (dasakusalakamma):
1.      Menghindari pembunuhan, dan mengembangkan cinta-kasih kepada sesama makhluk hidup;
2.      Menghindari pencurian; dan bersikap jujur dan tulus serta berusaha membantu untuk meringankan penderitaan orang lain;
3.      Menghindari perbuatan asusila; dan menepati tatasusila dalam masyarakat;
4.      Menghindari kebohongan untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain;
5.      Menghindari fitnah; yang dapat menimbulkan permusuhan; sebaliknya berusaha menjadi penengah untuk merukunkan perselisihan;
6.      Menghindari ucapan kasar; dan berbicara secara lembut dan menyenangkan;
7.      Menghindari omong-kosong;  dan berbicara pada waktu yang tepat tentang hal-hal yang benar, berdasarkan fakta, berhubungan dengan Dhamma Vinaya, bermakna, disertai contoh-contoh diperhitungkan lebih dulu dan bermanfaat;
8.      Menghindari keserakaan; dan tidak merasa iri terhadap  keuntungan dan kemakmuran orang lain;
9.      Menghindari itikad jahat; dan tidak menyimpan pikiran buruk (terhadap orang lain);
10.  Menghindari pandangan salah; dan menganut pandangan benar: percaya akan kehidupan yang akan datang, akan ganjaran moral, akan kewajiban, dan akan guru-guru rohani yang telah menjalani hidup suci dan mencapai pandangan terang...”
Selanjutnya orang dianjurkan percaya diri, hidup saleh, bermasalah dan tidak bermalas-malas, waspada, seimbang dan memiliki pengertian... (Anggutara Nikaya, V, hal. 335 dst.)...  memupuk simpati masyarakat dengan menjalankan empat prinsip pendukung: (1) kemurahan hati; (2) ucapan menyenangkan; (3) suka menolong; (4) tidak memihak. (Jataka, VI, hal. 286). Di tempat lain Sang Buddha memberi teladan lebih rinci tentang kehidupan baik  di tengah-tengah masyarakat: berbuat baik dengan pikiran, ucapan dan tindakan; melakukan kegiatan untuk kepentingan orang banyak; taat dan hormat kepada pemimpin atau orang yang lebih tua; ... mmelenyapkan ketakutan dikalangan masyarakat; melindungi mereka yang perlu dilindungi, menyediakan kebutuhan sehari-hari..., hidup sederhana dan penuh dengan welas asih..; mempelajari ilmu pengetahuan dan kesenian... mendatangi dan belajar dari orang-orang suci ... ; hidup tenang,tanpa amarah, dan tidak mencari-cari kesalahan orang lain ... ; merukunkan golongan-golongan dalam masyarakat untuk hidup bersama  secara serasi ..; dapat memahami, meneliti dan memilah-milah watak orang yang berbeda..; memperhatikan kepentingan, kesejahteraan, keamanan dan kemantapan masyarakat; memikirkan bagaimana cara meningkatkan kepercayaan, moral, pendidikan, kemurahan, kkelurusan, kecerdasan, binatang ...; dengan batin yang tulus, terbbuka kecerdasan, binatang ...; dengan batin yang tulus, terbuka daan luhur mmenatap orang dengan pandangan penuh kasih ... membuang kebiasaan-kebiasaan buruk dan cara penghidupan salah ...; menolak segala macam penipuan dan perlakuan tidak adil serta segala tindakan kekerasan. (Digha Nikaya III, hal.  145 dst.). hubungan kekeluargaan yangg saleh sangat  ditekankan dalam Agama Buddha: umat awam dianjurkan untuk menyokong orang-orang suci, mohon nasihat mereka, memelihara kitab-kitab suci... menghormati orang-orang saleh dan terpelajar ... menyokong orang tua, mengerjakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, melaksanakan tanggungjawab terhadap istri dan anak... bawahan dan pelayan, (Anguttara Nikaya IV, hal. 44 dst.) “ Selama aku hidup aku akan menyokong orang tuaku di rumah, menghormati atasan dan yang lebih tua, mengucapkan kata-kata lembbut, tak akan membicarakan keburukan di belakang punggung, hidup berumah tangga bebas dari hati noda mementingkan diri sendiri, murah hati dan terbuka tangan...  berkata benar, dan tak diperbudak oleh nafsu amarah”. Orang demikian dinamakan oleh Sang Buddha sebagai “ Orang yang baik dan berharga” (Samnyuta Nikaya I, hal.  228). [6]
Kelompok masyarakat awam meliputi semua umat Buddha yang tidak termasuk dalam kelompok masyarakat keviharaan. Mereka menempuh hidup berumah tangga. Kelompok ini terdiri atas upasaka (pria) dan upasika (wanita) yaitu mereka yang telah menyatakan diri untuk berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moralitas (sila) bagi umat awam.[7]






Daftar Pustaka
2.      Ali,Mukti, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,1988)
4.      Hadikusuma,Hilman Antropologi Agama  (Bandung: PT.CITRA ADITYA BAKTI,1993
5.      Wowor,Cornelis,  Pandangan Sosial Agama Buddha ( CV. Nitra Kencana Buana)
6.      http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_dw_40.shtml







[1] http://ilhamalik.blogspot.com/2012/05/makna-puja-doa-hari-suci-tempat-suci.html
[2] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,1988), h 129-131

[3]http://budhisme10.blogspot.com/2012/05/pengertian-dasar-budha-dharma-tri-ratna.html
[4]Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama  (Bandung: PT.CITRA ADITYA BAKTI,1993) hal.238-239    
[5] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS,1988), h.131-132


[6] Cornelis Wowor, Pandangan Sosial Agama Buddha ( CV. Nitra Kencana Buana), h.47-52

[7] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_dw_40.shtml

0 komentar:

Posting Komentar