Rabu, 22 Mei 2013

Buddhisme di cina

disusun oleh M Afisena 
Budhisme di Cina dan aliran-alirannya

          Tidak di ketahui secara pasti kapan agama Budha masuk ke cina, namun pendapat yang umumnya diterima ialah pada permulaan dinasti Han, ketika kaisar Ming Ti (58-76 M) mengirimkan utusan ke India untuk meniliti agama Buddha. Perkembangan awal agama tersebut di Cina yang telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan karena mendapat perlawanan dan tantangan dari kepercayaan dan filsafat asli cina yang telah berkembang sebelumnya, seperti yang di ajarkan oleh konfusius, di samping ajaran dan filsafat Buddha dianggap terlalu kaku dan metafisis sehingga dirasakan sangant bertentangan dengan alam pikiran cina yang praktis dan materialistik. Perkembangan yang cukup pesat mulai terjadi setelah abad kedua masehi, yang antara lain karena jatuhnya dinasta Han yang diikuti dengan merosotnya Konfusiasme dan Taoisme sehingga mengakibatkan Cina menghadapi kegelisahan budaya. Tradisi dan struktur yang lemah, sementara alternatif  baru belum muncu. Dalam situasi budaya seperti itulah, Buddha Mahayana muncul dan dipandang mampu memenuhi kebutuhan yang ada dengan menawarkan suatu bentuk upacara keagamaan yang berbeda dari tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya di satu pihak, dan di lain pihak kepercayaan dan tradisi asli tadi memberikan sumbangan dalam membentuk kualitas agama Buddha yang merakyat di Cina.[1]
                  
Pada periode awal perkembangan agama Buddha di Cina itu banyak didirikan wihara-wihara dan dilakukan penerjemahan naskah-naskah Buddha ke dalam bahsa Cina. Salah seorang penerjemah yang terkenal adalah Sarvastivadin yang telah mengerjakan terjemahan tidak kurang dari 100 naskah Buddha ke dalam bahasa Cina. Akan tetapi masa keemasan agama Buddha di Cina antara abad ke 7 M. Hingga abad ke-9 M. Di bawah kekuasaan dinasti T’ang. Pada masa ini, kontak antara cina dan India tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan saja, tetapi jugamenyangkut bidang-bidang yang lain. Pada masa dinasti T’ang, agama Buddha diadaptasikan dan dikombinasi dengan kebudayaan setempat, seperti terlihat dalam berbagai karya seni yang bercorak keagamaan. Masa keemasan ini juag ditandai dengan banyaknya para ilmuwan Cina yang melakukan perjalanan untuk mempelajari dan menulis sejarah agama ke berbagai negeri yang termasuk Nusantara, menerjemahkan kitab-kitab sutra dan memperkaya dengan ide-ide keagamaan yang ganjil dan menakjubkan. Di antara para ilmuwan itu adlah Fa Hien, Hi Nen, Tsang dan I’Tsing.
                        Namun kemajuan agama Buddha di Cina itu ditandai pula dengan kebangkitan kembali Konfusiasme yang bersifat sosial-elitis sehingga serimg berbenturan dengan ajaran Buddaha yang menekankan pada kehidupan sejati melalui hidup membiara sebagai bhikkhu. Pertetangan tersebut merembaet pula pada tradisi cina yang menekankan pada kehidupan keluarga disatu pihak, dengan ajaran Buddha untuk hidup selibat dan membiara dilain pihak, yang secara ekonomis tidak membantu pengembangan produktivitas keluarga dan masyarakat. Namun sejauh itu agama Buddha tetap mampu mengakomodasikan dirinya dengan kepercayaan tersebut sehingga memperoleh tempat sejajar dengan konfusianisme dan taoisme. Bahkan, ketiga-tiganya membentuk landasan filsafat dan agama di Cina yang dikenal sebagai Sam Kauw, atau Tri Dharma, yang berarti tiga ajaran.[2]

Aliran Dhyana
       
          Dengan kesempurnaan ini, kita memasuki alam dari tapabrata dan psychologi phonomena yang abnormal, Mahayan sekarang memulai menjadi tak dapat dipahami. Dhyana, berasal dari dhya, adalah salah satu istilah yang tidak dapat diterjemahkan sebagai meditasi,’ kegembiraan yang luar biasa,’ perenungan, rasa gembira, dan seterusnya.
           C.A.F. Rhys Davids telah menunjukan bahwa jhana dalam pali tidak berarti meditasi, karena kata-kata bahasa inggris menyatakan secara tidak langsung usaha intelektuil.
C.A.F. Rhys Davids menjelaskan Dhyana sebagai latihan mengenai renungan penuh atau abstraksi. Ini boleh diterima sebagai terjemahan konvensional untuk saat sekarang.
            Dhyana dijelaskan dalam Bodhisattva bhumi sebagai konsentrasi dan stabilitas atau ketetapan dari pikiran. Lawan kata dari dhyana adalah viksepa (perusakan pikiran) atau manah-ksobha (agitasi atau gangguan dari pikiran ) Dhyana adalah demikian terutama dan pada pokoknya usaha-usaha dari mengalami dan memperoleh ketentraman dan ketenangan (camatha) yang sudah tentu berpasangan dengan konsentrasi mental dalam Pr.Pa.Cata.  seorang bodhisattva yang mulai melatih dhyana harus melalui suatu tingkatan pendahuluan dari persiapan,  yang boleh di katakan mencangkup pembuangan dan kesunyian, pengolahan dari empat yang maha mulia, atau keadaan sempurna dan penggunaan dari krtsnayatanas.

Seorang bodhisatwa yang mulai melatih dhyana, sekarang harus menyerahkan kehidupan keluarga dan hubungan sosial umum, dan mengundurkan diri ke suatu tempat terpencil didalam hutan. Dia harus hidup sebagai pertaba yang tidak kawin dan sebagai pertapa. M. Anesaki menjelaskan pendapat itu bahwa umat mahayana menemukan kehidupan mulia atau yang berumah tangga tidak ada jalan lain bertentangan dengan latihan mengenai paranitas dan pencapaian bhodihi. Tetapi para penulis terkenal sangsekerta tidak mendukung pandangan ini. Aphorisme (aphorism=a short pithy sentence, stating a general doctrine or truth). Pali yang terkenal, menyelahkan kehidupan yang telah berumah tangga, ditemukan dalam beberapa halaman versi sangsekerta. Kehidupan dalam rumah itu adalah sempit. Dan penuh dengan halangan ( kamar, tempat tidur bayi, batasan-batasan) sementara kehidupan seseorang bhikku adalah bagaikan udara terbuka. Adalah sulit untuk menuju murni, cermat, dan kehidupan spiritual suci sebagai yang berumah tangga. Menurut Pr.pa. Cata., bujangan adalah perlu untuk penerangan. Bahkan seseorang bhodisatva  yang telah menikah, perkawinannya adalah sungguh-sungguh sesuatu tipuan yang soleh demi perubahan bagi orang lain. Dia tidak sungguh-sungguh menikmati kesenangan berhala nafsu, dia tetap sebagai seorang bujangan. Da. Bhu mengajarkan bahwa seseorang bhodisatva menjadi seorang biksu tingkat pertama dari karirnya. Seorang bhodisatva  harus berkelana sendirian bagaikan badak. Pohon-pohon dan bunga-bunga didalam hutan adalah teman-teman yang tidak memberikan kesusahan, dan tema-teman mereka lebih baik pada yang bodoh ini dan orang-orang dunia yang mementingkan diri sendiri. Seorang bhodisatva yang telah kembali kehutan harus menemukan batang kayu di pepohonan, buku-buku di dalam sungai yang mengalir. Dia harus bebas dari ide mengenai sendiri dan pemilikan, seperti pohon tapi harus bersedia berkorban kehidupannya bagi mereka dalam satu semangat yang sangat merasa kasihan jika binatang itu menyerang dia. Dia harus mencurahkan perhatian pada meditasi dan ujian diri sendiri, dan juga berkhutbah secara kebetulan kepada umat awam yang mungkin mengunjunginya didalam pertapaan. Seorang bodhisattva harus melatih 4 meditasi yang dinamakan brahma vihara (4 yang maha mulia;) juga dikenal sebagai apramanani.
           4 brahma vihara terdiri dari pengolahan yang dalam mengenai 4 perasaan, menurut suatu metode tertentu, yaitu :
-          Maitri (cinta atau persahabatan)
-          Keruna (perasaan terharu)
-          Mudita (kesenangan simpatik)
-          Upeksa (ketenangan).

         Konsepsi mengenai dhyanatelah diperhalus, tetapi doktrin utama mengelilingi 9 keadaan psykologis, nyata atau iamjinasi, yang dinamakan anupurva-vihara (yaitu keadaan-keadaan berurutan secara teratur). Empat yang pertama dari keadaan ini dikenbal sebagai 4 dhyana, dan 5 yang terakhir umumnya dikatakan mengenai samapatis (pencapaian). Yang belakangan ini adalah yang utama yakni tingkat ke-4, ke-5, ke-6, ke-7, dan ke-8 adalah pokok-pokok dari suatu daftar dari 8 vimoksas (pembabasan, atau tingkatan pembebasan) tingkatan tertinggi ini biasanya dinamakan samapatis, dan bukan dhyana, di dalam naskah sansekerta. Pembebasan yang pertama tidaklah berhubungan dengan pokok pembahasan kita dalam bagian ini. Sejarah permulaannya mengenai kategori itu adalah tidak jelas. Mereka itu barangkali sudah ada sebelum agama Buddha, sebagaimana Brahma-jala-sutta menghubungkan mereka dengan sekte non-Buddhist. Menurut Lal.V. Rudraka Ramaputra, sebagai gurunya Buddha Gautama untuk beberapa waktu, melatih itu.

Berikut ini penjelasan Dhyana :
-          Dhayana ke-1. Dia (yakni bodhisattva ) bebas dari kesenangan hawa nafsu dan keadaan pikiran yang buruk dan tercela, memperoleh dan tinggal dalam dhyana ke-1, yang timbul dari pengasingan, dan berhubungan dengan kesenengan dari kegembiraan, dan timbul dari penuh konsentrasi di dalam ketiadaan dari refleksi dan infestigasi.
-          Dhyana ke-2. Dengan penghentian dari refleksi dan investigasi, dia, tenang di hati, mengkonsentrasikan pikirannya pada satu titik, memperoleh dan tinggal dalam dhyana ke -2. Yang berhubungan dengan kesenangan dan kegembiraan, dan timbul dari penuh konsentrasi di dalam ketiadaan dari refleksi dan investigasi.
-          Dhyana ke-3. Setelah meninggalkan kemelekatan pada kesenangan, dia tetap hampir tidak berubah, sadar, dan memiliki dirinya sendiri berpengalamandalam tubuhnya kesenangan yang orang mulia menguraikan sebagai tinggal dalam ketenangan hati, kewaspadaan, dan kebahagiaan, memperoleh dan tinggal dalam dhyana ke-3 dimana tanpa kesenangan.
-          Dhyana ke-4. Karena bebas dari sakit dan kesenengan dan hilangnya yang dulu mengenbai kegirangan hati dan kkecewaan, dia memperoleh dan tinggal dalam dhyana ke-4, dimana tidak sakit begitu juga senang, yang murni mutlak melalui ketenagnagn dan kewaspadaan.
-          Dhyana ke-5. Dia melebihi semua persepsi mengenai bentuk materi, melenyapkan persepsi akan daya tahan , tidak menaruh perhatian terhadap persepsi mengenai perbedaan, menyadari bahwa ruang adalah tidak terbatas dan memperoleh dan tinggal dalam ruang pola yang terbatas.
-          Dhyana ke-6. Kesadaran yang tidak terbatas. Dia melebihi semua ruang bola yang tak terbatas, menyadari bahwa kesadaran ialah tak terbatas memperoleh dan tinggal dalam bidang kesadaran yang tidak terbatas.
-          Dyhana ke-7.Alam dari tidak ada apa-apanya. Dia melebihi semua bidang kesadaran yang tak terbatas, menyadari bahwa tiada apa-apa memperoleh dan tinggal dalam ruang yang tiada apa-apa.[3]

Formula sansekerta berbeda dengan Pali dalam beberapa hal. Keadaan psycologi juga di anggap membawa seorang bodhisattva menyentuh langsung dunia dan ruang yang berbeda, yang eksistensinya diterima di kosmologi buddhism.
               C.A.F. Rhys Davids mengatakan, ini adalah demikian untuk membenamkan semua dunia mengenai perasaan, dan kerja dari pikiran mengenai dunia perasaan, bahwa kekuatan dunia lain naik di dalam kesadaran manusia. Dia percaya bahwa Budhist bahkan dapat membuat komunikasi dengan yang telah meninggala dengan cara dhyana.
                    Akan tetapi hal itu mungkin, kosmologi dari buddhist Mahayana membagi semesta ke dalam 3 bagian atau tiga alam (Tri Loka) : ruang lingkup atau alam mengenai kenikmatan berhubungan dengan panca indera, alam dari bentuk atau zat(benda), dan alam dari tiada bentuk atau bukan zat atau benda . sebagaimana W.Kirfel telah telah menunjukan, 3 kategori ini adalah yang pertama-tama diterapkan pada konsepsi mengenai bhava, dan kemudian diperluas ke seluruh semesta. Macrocosm dan microsm jadi dibawa kedalam keseimbangan.
Aliran cen yen
                          I-tsing pada abad ke-7 tiba di Nalanda, beliau berusaha untuk memahammi aliran Tantra Mahayana ini. Kemudian pusat aliran Tantra Mahayan ini pindah ke India Timur sebagai pusatnya yakni di Universitas Vikramasiladari sekte Vajrayana, dari sana dibawa oleh Padmasambhava ke tibet yang kemudian berhubungan langsung dengan Lamaisma Tibet. Vajrayana merupakan fase perkembangan terakhir dari mahayana, sekte sebelumnya adalah Mantrayana. Sekte yogacara tinbul pada abad ke-4 yang menitikberatkan meditasi dan disiplin, mantrayana kemudian mengembangkan lebih lanjut dari yogacaradengan menggunakan mantra dan doa-doa, penggabungan simbolmistik dan gaib. Tabtra Buddhist mendapat pengaruh dari Brahmanisme yang banyak upacara dan ungkapan gaib di dalam petunjuk dari Atharva-veda.
                      Pada abad IV M., srimitra dari kucha (sinkiang) menterjemahkan sebuah kitab Tantrayana yang berisikan mantra-mantra, pengobatan serta doa-doa dan ilmu gaib, hal-hal demikian tidaklah mencerminkan nilai-nilai agung dari Tantrayana. Tantrayana yang murni baru dapat berkembang setelah datangnya 3 (tiga) Guru besar dari India ke Tiongkok pada masa dinasti T’ang (abad VI-VII) tiga guru besar tersebut adalah :

  
1)      Subhakarasinha/san wu wei (637-735); beliau adalah bekas ian pergi ke kashmir dan pada tahun 716 tiba di Chang an, Subhakarasinha dan I-tsing menterjemahkan Maha Vairocana Sutra (Ta Re Ju Lai Cing) ke dalam bahasa Tiong hoa pada tahun 725 M.
2)      Vajrabodhi / cin kang ce (663-723 M.) beliau berasal dari India selatan dan belajar di Nalanda, beliau mempelajari Vinaya, Madhyamika, Yogacara, dan Varasekhara, pada tahun 720 beliau menterjemahkan Vajrasekhara ke dalam bahasa Tiong hoa.
3)      Amoghavajra / Pu Khung (705-884); beliau berasal dari India utara dan menjadi siswa Vajrabodhi, pada waktu muda telah mahir tentang Tantrayana kemudian belajar lagi dengan Samantabhadra mengenai Vajra-sekharayoga dan Maha Vairocana Garbhakosa. Dia tiba di Chang An pada tahun 746 M.

          Yogacara adalah nama sekte dari Mahayana yang diperkenalkan oleh asanga dan saudaranya vasubandhu. Doktrinnya dikenal sebagai Vijnanavada dan pengikutnya disebut Vijnanavadin. Pandangan yogacara juga berasal dari Madhyamika, yaitu vijnana (kesadaran) adalah nyata, sedangkan obyek kesadaran adalah tidak nyata, filsafat Madhyamika bahwa baik subyek maupun obyek kedua-duanya di dalam kesadaran adalah tidak nyata (realitas adalah sunyata bagi Madhyamika). Menurut yogacara kejadian dari ilusi menunjukan bahwa kesadaran dapat mempunyai isi tanpa adanya suatu hubungan obyek yang diluar pada kesadaran itu. Ini menunjukkan “Murti” sifata dasar yang dimiliki sendiri mengenai kesadaran, oelh akrena itu apa yang dinamakan obyek atau isi hasil dari kesadaran adalah hasil dari suatu perubahan kesadaran bagian dalam, salah satu karya Asanga adalah yogacara –bhumi Sastra.
             Perluasan dari ide yogacara dalam agama Buddha permulaan termasuk dihayati oleh aliran Sautrantika yamng mengajarkan Panca Skandha yaitu vijnana sendiri adalah telah ada dari tumimbal lahir. Yogacara mengembangkan doktrin mengenai alaya-vijnana atau gudang kesadaran hal di maksudkan kesadaran murni.

Vijnanvada
          Memberikan formulasi mengenai doktrin Tri kaya, namun asanga dan para pengikutnya memberikan bentuk ide yang sistematis sebagaimana ditemukan dalam permulaan perkembangan agfama buddha. Doktrin Tri kaya dari karya asanga berkaitan dengan pandangan yogacara mengenai tiga kebenaran. Kebenaran yang pertama adalah kebeneran konvensioanl yaitu berdasrakan persepsi berdasarkan perasaan. Kebenaran yang kedua adalah kebenrana yang dikaji, konsepsi sebagaimana yang telah dikaji berhubungan dengan sebab, itu di luar dari asalnya, dan kondisi mengenai pelapukannya. Kebenaran yang ketiga yang merupakan yang tertinggi dinamakan panirispanna  yaitu tanpa awal atau asal pelapukannya, tidak berubah, dan ketiadaan dari mengenai subyek dan obyek. Nirmana-kaya adalah kebenaran konvensioanl . sambogha-kaya adalah kebenaran yang kedua (paratantra), dan Dharma-kaya adalah kebenaran yang tertinggi tau ketiga (parinispanna).
                     Yogacara pada perkembangan berikutnya dikenal dengan Vajrayana atau tantra. Dengan penggabungan mengenai ritual,ibadah, dan yoga dalam konteksnya mengenai ide absolut, aspek gandanya yaitu kedua-duanya agama, metafisik, dan tujuannya. Mengenai perubahan personalitas manusia dengan cara institusi mistik dengan  yang absolut.[4]
                 Pada abad ke VIII, seorang bhiksu cendekiawan jepang yang bernama Kobo Daishi (Khung Hai Ta She) menggaris bawahi kedudukan tantra Buddhist sebagai berikut :
Pertama, orang-orang awam yang hidupnya hanay menuruti hawa-nafsunya.
Kedua, tingkatan manusia yang berusaha untuk hidup bermoral dan mengerti akan tatakrama kehidupan. Ini diwakili oleh kaum konfusianisme (kong hu cu)
Ketiga, tingkatan manusia kedewaan yang berusaha untuk mengumpulkan kesaktian-kesaktian. Ini diwakili oleh kaum Taois dari Tao Chiau dan sementara kaum Brahmin.
Keempat, tingkatan kaum sravaka, yaitu siswa-siswa Hyang Buddha yang mendengarkan langsung ajaran-ajaran Buddha dan berusaha untuk mensucikan diri. Ini diwakili oleh Abhidharma-kosa
Kelima, tingkatan kaum Prataya Buddhayana yang hanya menikmati hasil-hasil kesucian tetapi tidak menghiraukan makhluk lain.
Keenam, golongan yang menganggap bahwa Ekayana adalah hal yang nyata. Ini diwakili oleh kaum Tri sastra
Ketujuh, golongan yang mewakili kaum Dharmalaksana.

Aliran Vinaya
           
                  Sekte Vinaya ini didirikan di Tiongkok pada waktu dinasti T’ang abad ke-6 oleh bhiksu Tao Hsuan. Sesuia dengan namanya, sekte ini sangat menitikberatkan pada kitab-kitab Vinaya. Sejak agama buddha masuk ke Tiongkok pada abad ke 1 M sampai dengan abad ke-4 M, belum semua kitab Vinaya ada secara lengkap sebagai pedoman bagi para bhiksu di Tiongkok. Bhiksu Fa Hsien pergi ke India melalui jalan darat dengan berjalan kaki dan kembali ke Tiongkok melalui Srilanka dengan kapal laut (399-414 M) untuk mengambil kitab-kitab viyana.
      Kitab- kitab suci Vinaya dalam bahasa sansekerta dijadikan sebagai pedoman mereka :
1.      Brahmajala Sutra (Fan Wang Ching) terjemahan Kumarajiva tahun 406 M sebagai kitab pedoman utama.
2.      Catuh Vinaya (empat disiplin) yaitu :
-          Mahasanghika Vinaya (Ta Seng Che Lu ) terjemahan Buddhabandra (405 M ) dalam bahasa mandarin sebanyak 40 jilid (Chuan)
-          Sarvastivada Vinaya (Se Th’ung Lu) terjemahan punyatara (404-406M) dalam bahasa mandarin sebanyak 61 jilid,
-          Dharmagupta Vinaya (She Fen Lu ) terjemahan Buddhayasa (405 M) dalam bahasa mandarin sebanyak 60 jilid,
-          Mahisaka Vinaya (U Pu Lu ) terjemahan Buddhajiva (423 M ) dalam bahasa Mandarin sebanyak 30 jilid.

         Pratimoksa dalam aliran Mahayana adalah berdasrakan Dharmagupta Vinaya (She Fen Lu) berisikan 250 pasal, dan disebut juga Vinaya empat bagian (She Fen Lu), sedangkan peraturan Bodhisattva Sila berdasarkan Brahmajala Sutra berisikan 58 pasal. Sekte Vinaya ini juga berkembang sampai ke Jepang dan korea. Tahun 754, bhiksu Ch’ien Chen datang ke Nara – jepang mengajarkan Vinaya kepada para bhiksu jepang. Sekte Vinaya ini adalah aliran Mahayan yang didirikan di Tiongkok.
                   








DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti H.A. Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998. Desa Kausalya karma sutra (Dharma Pitaka), Bogor-Jawa Barat 2008
Kebahagiaan Dalam Dhamma, Jakarta: Majelis Buddha Mahayana Indonesia.
                Conze,Prof. Buddhist Thought in India: T.R.V.Murti, 1995








[1][1] Mukti ali, agama-agama dunia, bogor ;IAIN sunan kalijaga press, cetakan ke-2 h.138
[2] [2][2] Mukti ali, agama-agama dunia,bogor ;IAIN sunan kalijaga press , cetakan ke-2 h.139

[3] Budha Dharma Mahayana,jakarta; majelis agama buddha mahayana indonesia.cetakan ke-1, h.257-258
Prof.conze, buddhist Thought in India; T.R
.V.Murti, 1995. Hal.3

0 komentar:

Posting Komentar