disusun oleh M Afisena
Budhisme di Cina dan aliran-alirannya
Budhisme di Cina dan aliran-alirannya
Tidak di
ketahui secara pasti kapan agama Budha masuk ke cina, namun pendapat yang
umumnya diterima ialah pada permulaan dinasti Han, ketika kaisar Ming Ti (58-76
M) mengirimkan utusan ke India untuk meniliti agama Buddha. Perkembangan awal
agama tersebut di Cina yang telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan
karena mendapat perlawanan dan tantangan dari kepercayaan dan filsafat asli
cina yang telah berkembang sebelumnya, seperti yang di ajarkan oleh konfusius,
di samping ajaran dan filsafat Buddha dianggap terlalu kaku dan metafisis
sehingga dirasakan sangant bertentangan dengan alam pikiran cina yang praktis
dan materialistik. Perkembangan yang cukup pesat mulai terjadi setelah abad
kedua masehi, yang antara lain karena jatuhnya dinasta Han yang diikuti dengan
merosotnya Konfusiasme dan Taoisme sehingga mengakibatkan Cina menghadapi
kegelisahan budaya. Tradisi dan struktur yang lemah, sementara alternatif baru belum muncu. Dalam situasi budaya
seperti itulah, Buddha Mahayana muncul dan dipandang mampu memenuhi kebutuhan
yang ada dengan menawarkan suatu bentuk upacara keagamaan yang berbeda dari
tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya di satu pihak, dan di lain pihak
kepercayaan dan tradisi asli tadi memberikan sumbangan dalam membentuk kualitas
agama Buddha yang merakyat di Cina.[1]
Pada periode awal perkembangan agama Buddha di Cina itu banyak didirikan wihara-wihara dan dilakukan penerjemahan naskah-naskah Buddha ke dalam bahsa Cina. Salah seorang penerjemah yang terkenal adalah Sarvastivadin yang telah mengerjakan terjemahan tidak kurang dari 100 naskah Buddha ke dalam bahasa Cina. Akan tetapi masa keemasan agama Buddha di Cina antara abad ke 7 M. Hingga abad ke-9 M. Di bawah kekuasaan dinasti T’ang. Pada masa ini, kontak antara cina dan India tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan saja, tetapi jugamenyangkut bidang-bidang yang lain. Pada masa dinasti T’ang, agama Buddha diadaptasikan dan dikombinasi dengan kebudayaan setempat, seperti terlihat dalam berbagai karya seni yang bercorak keagamaan. Masa keemasan ini juag ditandai dengan banyaknya para ilmuwan Cina yang melakukan perjalanan untuk mempelajari dan menulis sejarah agama ke berbagai negeri yang termasuk Nusantara, menerjemahkan kitab-kitab sutra dan memperkaya dengan ide-ide keagamaan yang ganjil dan menakjubkan. Di antara para ilmuwan itu adlah Fa Hien, Hi Nen, Tsang dan I’Tsing.
Namun kemajuan agama Buddha di Cina itu ditandai pula dengan kebangkitan
kembali Konfusiasme yang bersifat sosial-elitis sehingga serimg berbenturan
dengan ajaran Buddaha yang menekankan pada kehidupan sejati melalui hidup
membiara sebagai bhikkhu. Pertetangan tersebut merembaet pula pada tradisi cina
yang menekankan pada kehidupan keluarga disatu pihak, dengan ajaran Buddha
untuk hidup selibat dan membiara dilain pihak, yang secara ekonomis tidak
membantu pengembangan produktivitas keluarga dan masyarakat. Namun sejauh itu
agama Buddha tetap mampu mengakomodasikan dirinya dengan kepercayaan tersebut
sehingga memperoleh tempat sejajar dengan konfusianisme dan taoisme. Bahkan,
ketiga-tiganya membentuk landasan filsafat dan agama di Cina yang dikenal
sebagai Sam Kauw, atau Tri Dharma, yang berarti tiga ajaran.[2]
Aliran Dhyana
Dengan kesempurnaan ini, kita memasuki alam dari tapabrata dan
psychologi phonomena yang abnormal, Mahayan sekarang memulai menjadi tak dapat
dipahami. Dhyana, berasal dari dhya, adalah salah satu istilah yang tidak dapat
diterjemahkan sebagai meditasi,’ kegembiraan yang luar biasa,’ perenungan, rasa
gembira, dan seterusnya.
C.A.F. Rhys Davids telah menunjukan bahwa jhana dalam pali tidak berarti
meditasi, karena kata-kata bahasa inggris menyatakan secara tidak langsung
usaha intelektuil.
C.A.F. Rhys Davids menjelaskan Dhyana sebagai
latihan mengenai renungan penuh atau abstraksi. Ini boleh diterima sebagai
terjemahan konvensional untuk saat sekarang.
Dhyana dijelaskan dalam Bodhisattva bhumi sebagai konsentrasi dan
stabilitas atau ketetapan dari pikiran. Lawan kata dari dhyana adalah viksepa
(perusakan pikiran) atau manah-ksobha (agitasi atau gangguan dari pikiran )
Dhyana adalah demikian terutama dan pada pokoknya usaha-usaha dari mengalami
dan memperoleh ketentraman dan ketenangan (camatha) yang sudah tentu
berpasangan dengan konsentrasi mental dalam Pr.Pa.Cata. seorang bodhisattva yang mulai melatih dhyana
harus melalui suatu tingkatan pendahuluan dari persiapan, yang boleh di katakan mencangkup pembuangan
dan kesunyian, pengolahan dari empat yang maha mulia, atau keadaan sempurna dan
penggunaan dari krtsnayatanas.
Seorang bodhisatwa yang mulai melatih dhyana,
sekarang harus menyerahkan kehidupan keluarga dan hubungan sosial umum, dan
mengundurkan diri ke suatu tempat terpencil didalam hutan. Dia harus hidup
sebagai pertaba yang tidak kawin dan sebagai pertapa. M. Anesaki menjelaskan
pendapat itu bahwa umat mahayana menemukan kehidupan mulia atau yang berumah
tangga tidak ada jalan lain bertentangan dengan latihan mengenai paranitas dan
pencapaian bhodihi. Tetapi para penulis terkenal sangsekerta tidak mendukung
pandangan ini. Aphorisme (aphorism=a short pithy sentence, stating a general doctrine
or truth). Pali yang terkenal, menyelahkan kehidupan yang telah berumah tangga,
ditemukan dalam beberapa halaman versi sangsekerta. Kehidupan dalam rumah itu
adalah sempit. Dan penuh dengan halangan ( kamar, tempat tidur bayi,
batasan-batasan) sementara kehidupan seseorang bhikku adalah bagaikan udara
terbuka. Adalah sulit untuk menuju murni, cermat, dan kehidupan spiritual suci
sebagai yang berumah tangga. Menurut Pr.pa. Cata., bujangan adalah perlu untuk
penerangan. Bahkan seseorang bhodisatva
yang telah menikah, perkawinannya adalah sungguh-sungguh sesuatu tipuan
yang soleh demi perubahan bagi orang lain. Dia tidak sungguh-sungguh menikmati
kesenangan berhala nafsu, dia tetap sebagai seorang bujangan. Da. Bhu
mengajarkan bahwa seseorang bhodisatva menjadi seorang biksu tingkat
pertama dari karirnya. Seorang bhodisatva
harus berkelana sendirian bagaikan badak. Pohon-pohon dan bunga-bunga
didalam hutan adalah teman-teman yang tidak memberikan kesusahan, dan tema-teman
mereka lebih baik pada yang bodoh ini dan orang-orang dunia yang mementingkan
diri sendiri. Seorang bhodisatva yang telah kembali kehutan harus menemukan
batang kayu di pepohonan, buku-buku di dalam sungai yang mengalir. Dia harus
bebas dari ide mengenai sendiri dan pemilikan, seperti pohon tapi harus
bersedia berkorban kehidupannya bagi mereka dalam satu semangat yang sangat
merasa kasihan jika binatang itu menyerang dia. Dia harus mencurahkan perhatian
pada meditasi dan ujian diri sendiri, dan juga berkhutbah secara kebetulan
kepada umat awam yang mungkin mengunjunginya didalam pertapaan. Seorang
bodhisattva harus melatih 4 meditasi yang dinamakan brahma vihara (4
yang maha mulia;) juga dikenal sebagai apramanani.
4 brahma vihara terdiri dari pengolahan yang dalam mengenai 4 perasaan,
menurut suatu metode tertentu, yaitu :
-
Maitri (cinta atau persahabatan)
-
Keruna (perasaan terharu)
-
Mudita (kesenangan simpatik)
-
Upeksa (ketenangan).
Konsepsi mengenai
dhyanatelah diperhalus, tetapi doktrin utama mengelilingi 9 keadaan psykologis,
nyata atau iamjinasi, yang dinamakan anupurva-vihara (yaitu
keadaan-keadaan berurutan secara teratur). Empat yang pertama dari keadaan ini
dikenbal sebagai 4 dhyana, dan 5 yang terakhir umumnya dikatakan mengenai samapatis
(pencapaian). Yang belakangan ini adalah yang utama yakni tingkat ke-4,
ke-5, ke-6, ke-7, dan ke-8 adalah pokok-pokok dari suatu daftar dari 8 vimoksas
(pembabasan, atau tingkatan pembebasan) tingkatan tertinggi ini biasanya
dinamakan samapatis, dan bukan dhyana, di dalam naskah sansekerta.
Pembebasan yang pertama tidaklah berhubungan dengan pokok pembahasan kita dalam
bagian ini. Sejarah permulaannya mengenai kategori itu adalah tidak jelas.
Mereka itu barangkali sudah ada sebelum agama Buddha, sebagaimana Brahma-jala-sutta
menghubungkan mereka dengan sekte non-Buddhist. Menurut Lal.V. Rudraka
Ramaputra, sebagai gurunya Buddha Gautama untuk beberapa waktu, melatih itu.
Berikut ini penjelasan Dhyana :
-
Dhayana ke-1. Dia (yakni bodhisattva ) bebas dari
kesenangan hawa nafsu dan keadaan pikiran yang buruk dan tercela, memperoleh
dan tinggal dalam dhyana ke-1, yang timbul dari pengasingan, dan
berhubungan dengan kesenengan dari kegembiraan, dan timbul dari penuh
konsentrasi di dalam ketiadaan dari refleksi dan infestigasi.
-
Dhyana ke-2. Dengan penghentian dari refleksi dan
investigasi, dia, tenang di hati, mengkonsentrasikan pikirannya pada satu
titik, memperoleh dan tinggal dalam dhyana ke -2. Yang berhubungan
dengan kesenangan dan kegembiraan, dan timbul dari penuh konsentrasi di dalam
ketiadaan dari refleksi dan investigasi.
-
Dhyana ke-3. Setelah meninggalkan kemelekatan pada
kesenangan, dia tetap hampir tidak berubah, sadar, dan memiliki dirinya sendiri
berpengalamandalam tubuhnya kesenangan yang orang mulia menguraikan sebagai
tinggal dalam ketenangan hati, kewaspadaan, dan kebahagiaan, memperoleh dan
tinggal dalam dhyana ke-3 dimana tanpa kesenangan.
-
Dhyana ke-4. Karena bebas dari sakit dan kesenengan dan hilangnya
yang dulu mengenbai kegirangan hati dan kkecewaan, dia memperoleh dan tinggal
dalam dhyana ke-4, dimana tidak sakit begitu juga senang, yang murni
mutlak melalui ketenagnagn dan kewaspadaan.
-
Dhyana ke-5. Dia melebihi semua persepsi mengenai
bentuk materi, melenyapkan persepsi akan daya tahan , tidak menaruh perhatian
terhadap persepsi mengenai perbedaan, menyadari bahwa ruang adalah tidak
terbatas dan memperoleh dan tinggal dalam ruang pola yang terbatas.
-
Dhyana ke-6. Kesadaran yang tidak terbatas. Dia
melebihi semua ruang bola yang tak terbatas, menyadari bahwa kesadaran ialah
tak terbatas memperoleh dan tinggal dalam bidang kesadaran yang tidak terbatas.
-
Dyhana ke-7.Alam dari tidak ada apa-apanya. Dia melebihi
semua bidang kesadaran yang tak terbatas, menyadari bahwa tiada apa-apa
memperoleh dan tinggal dalam ruang yang tiada apa-apa.[3]
Formula sansekerta berbeda dengan Pali dalam
beberapa hal. Keadaan psycologi juga di anggap membawa seorang bodhisattva
menyentuh langsung dunia dan ruang yang berbeda, yang eksistensinya diterima di
kosmologi buddhism.
C.A.F. Rhys Davids mengatakan, ini adalah demikian untuk membenamkan
semua dunia mengenai perasaan, dan kerja dari pikiran mengenai dunia perasaan,
bahwa kekuatan dunia lain naik di dalam kesadaran manusia. Dia percaya bahwa
Budhist bahkan dapat membuat komunikasi dengan yang telah meninggala dengan
cara dhyana.
Akan tetapi hal itu
mungkin, kosmologi dari buddhist Mahayana membagi semesta ke dalam 3 bagian
atau tiga alam (Tri Loka) : ruang lingkup atau alam mengenai kenikmatan
berhubungan dengan panca indera, alam dari bentuk atau zat(benda), dan alam
dari tiada bentuk atau bukan zat atau benda . sebagaimana W.Kirfel telah telah
menunjukan, 3 kategori ini adalah yang pertama-tama diterapkan pada konsepsi
mengenai bhava, dan kemudian diperluas ke seluruh semesta. Macrocosm dan
microsm jadi dibawa kedalam keseimbangan.
Aliran cen yen
I-tsing pada abad ke-7 tiba di Nalanda, beliau berusaha untuk memahammi
aliran Tantra Mahayana ini. Kemudian pusat aliran Tantra Mahayan ini pindah ke
India Timur sebagai pusatnya yakni di Universitas Vikramasiladari sekte Vajrayana,
dari sana dibawa oleh Padmasambhava ke tibet yang kemudian berhubungan langsung
dengan Lamaisma Tibet. Vajrayana merupakan fase perkembangan terakhir dari
mahayana, sekte sebelumnya adalah Mantrayana. Sekte yogacara tinbul pada abad
ke-4 yang menitikberatkan meditasi dan disiplin, mantrayana kemudian
mengembangkan lebih lanjut dari yogacaradengan menggunakan mantra dan doa-doa,
penggabungan simbolmistik dan gaib. Tabtra Buddhist mendapat pengaruh dari
Brahmanisme yang banyak upacara dan ungkapan gaib di dalam petunjuk dari
Atharva-veda.
Pada abad IV M., srimitra dari kucha (sinkiang)
menterjemahkan sebuah kitab Tantrayana yang berisikan mantra-mantra, pengobatan
serta doa-doa dan ilmu gaib, hal-hal demikian tidaklah mencerminkan nilai-nilai
agung dari Tantrayana. Tantrayana yang murni baru dapat berkembang setelah
datangnya 3 (tiga) Guru besar dari India ke Tiongkok pada masa dinasti T’ang
(abad VI-VII) tiga guru besar tersebut adalah :
1) Subhakarasinha/san wu wei (637-735); beliau adalah bekas ian pergi ke kashmir dan
pada tahun 716 tiba di Chang an, Subhakarasinha dan I-tsing menterjemahkan Maha
Vairocana Sutra (Ta Re Ju Lai Cing) ke dalam bahasa Tiong hoa pada tahun 725 M.
2) Vajrabodhi / cin kang ce (663-723 M.) beliau berasal dari India selatan dan
belajar di Nalanda, beliau mempelajari Vinaya, Madhyamika, Yogacara, dan
Varasekhara, pada tahun 720 beliau menterjemahkan Vajrasekhara ke dalam bahasa
Tiong hoa.
3) Amoghavajra / Pu Khung (705-884); beliau berasal dari India utara dan menjadi
siswa Vajrabodhi, pada waktu muda telah mahir tentang Tantrayana kemudian
belajar lagi dengan Samantabhadra mengenai Vajra-sekharayoga dan Maha Vairocana
Garbhakosa. Dia tiba di Chang An pada tahun 746 M.
Yogacara
adalah nama sekte dari Mahayana yang diperkenalkan oleh asanga dan saudaranya
vasubandhu. Doktrinnya dikenal sebagai Vijnanavada dan pengikutnya disebut
Vijnanavadin. Pandangan yogacara juga berasal dari Madhyamika, yaitu vijnana
(kesadaran) adalah nyata, sedangkan obyek kesadaran adalah tidak nyata,
filsafat Madhyamika bahwa baik subyek maupun obyek kedua-duanya di dalam
kesadaran adalah tidak nyata (realitas adalah sunyata bagi Madhyamika).
Menurut yogacara kejadian dari ilusi menunjukan bahwa kesadaran dapat mempunyai
isi tanpa adanya suatu hubungan obyek yang diluar pada kesadaran itu. Ini
menunjukkan “Murti” sifata dasar yang dimiliki sendiri mengenai kesadaran, oelh
akrena itu apa yang dinamakan obyek atau isi hasil dari kesadaran adalah hasil
dari suatu perubahan kesadaran bagian dalam, salah satu karya Asanga adalah
yogacara –bhumi Sastra.
Perluasan dari ide yogacara dalam agama Buddha permulaan termasuk
dihayati oleh aliran Sautrantika yamng mengajarkan Panca Skandha yaitu vijnana
sendiri adalah telah ada dari tumimbal lahir. Yogacara mengembangkan doktrin
mengenai alaya-vijnana atau gudang kesadaran hal di maksudkan kesadaran murni.
Vijnanvada
Memberikan formulasi mengenai doktrin Tri kaya, namun asanga dan para
pengikutnya memberikan bentuk ide yang sistematis sebagaimana ditemukan dalam
permulaan perkembangan agfama buddha. Doktrin Tri kaya dari karya asanga
berkaitan dengan pandangan yogacara mengenai tiga kebenaran. Kebenaran yang
pertama adalah kebeneran konvensioanl yaitu berdasrakan persepsi berdasarkan
perasaan. Kebenaran yang kedua adalah kebenrana yang dikaji, konsepsi
sebagaimana yang telah dikaji berhubungan dengan sebab, itu di luar dari
asalnya, dan kondisi mengenai pelapukannya. Kebenaran yang ketiga yang
merupakan yang tertinggi dinamakan panirispanna yaitu tanpa awal atau asal pelapukannya, tidak
berubah, dan ketiadaan dari mengenai subyek dan obyek. Nirmana-kaya
adalah kebenaran konvensioanl . sambogha-kaya adalah kebenaran yang
kedua (paratantra), dan Dharma-kaya adalah kebenaran yang tertinggi tau
ketiga (parinispanna).
Yogacara pada perkembangan
berikutnya dikenal dengan Vajrayana atau tantra. Dengan penggabungan mengenai
ritual,ibadah, dan yoga dalam konteksnya mengenai ide absolut, aspek gandanya
yaitu kedua-duanya agama, metafisik, dan tujuannya. Mengenai perubahan
personalitas manusia dengan cara institusi mistik dengan yang absolut.[4]
Pada abad ke VIII, seorang
bhiksu cendekiawan jepang yang bernama Kobo Daishi (Khung Hai Ta She)
menggaris bawahi kedudukan tantra Buddhist sebagai berikut :
Pertama, orang-orang awam yang hidupnya hanay menuruti
hawa-nafsunya.
Kedua, tingkatan manusia yang berusaha untuk hidup
bermoral dan mengerti akan tatakrama kehidupan. Ini diwakili oleh kaum
konfusianisme (kong hu cu)
Ketiga, tingkatan manusia kedewaan yang berusaha
untuk mengumpulkan kesaktian-kesaktian. Ini diwakili oleh kaum Taois dari Tao
Chiau dan sementara kaum Brahmin.
Keempat, tingkatan kaum sravaka, yaitu siswa-siswa
Hyang Buddha yang mendengarkan langsung ajaran-ajaran Buddha dan berusaha untuk
mensucikan diri. Ini diwakili oleh Abhidharma-kosa
Kelima, tingkatan kaum Prataya Buddhayana yang hanya
menikmati hasil-hasil kesucian tetapi tidak menghiraukan makhluk lain.
Keenam, golongan yang menganggap bahwa Ekayana
adalah hal yang nyata. Ini diwakili oleh kaum Tri sastra
Ketujuh, golongan yang mewakili kaum Dharmalaksana.
Aliran Vinaya
Sekte Vinaya ini didirikan di
Tiongkok pada waktu dinasti T’ang abad ke-6 oleh bhiksu Tao Hsuan. Sesuia
dengan namanya, sekte ini sangat menitikberatkan pada kitab-kitab Vinaya. Sejak
agama buddha masuk ke Tiongkok pada abad ke 1 M sampai dengan abad ke-4 M,
belum semua kitab Vinaya ada secara lengkap sebagai pedoman bagi para bhiksu di
Tiongkok. Bhiksu Fa Hsien pergi ke India melalui jalan darat dengan berjalan
kaki dan kembali ke Tiongkok melalui Srilanka dengan kapal laut (399-414 M)
untuk mengambil kitab-kitab viyana.
Kitab- kitab suci Vinaya dalam bahasa sansekerta dijadikan sebagai
pedoman mereka :
1. Brahmajala Sutra (Fan Wang Ching) terjemahan Kumarajiva tahun 406 M sebagai
kitab pedoman utama.
2. Catuh Vinaya (empat disiplin) yaitu :
-
Mahasanghika Vinaya (Ta Seng Che Lu )
terjemahan Buddhabandra (405 M ) dalam bahasa mandarin sebanyak 40 jilid
(Chuan)
-
Sarvastivada Vinaya (Se Th’ung Lu) terjemahan
punyatara (404-406M) dalam bahasa mandarin sebanyak 61 jilid,
-
Dharmagupta Vinaya (She Fen Lu ) terjemahan
Buddhayasa (405 M) dalam bahasa mandarin sebanyak 60 jilid,
-
Mahisaka Vinaya (U Pu Lu ) terjemahan
Buddhajiva (423 M ) dalam bahasa Mandarin sebanyak 30 jilid.
Pratimoksa dalam aliran Mahayana adalah berdasrakan Dharmagupta Vinaya (She
Fen Lu) berisikan 250 pasal, dan disebut juga Vinaya empat bagian (She Fen Lu),
sedangkan peraturan Bodhisattva Sila berdasarkan Brahmajala Sutra berisikan 58
pasal. Sekte Vinaya ini juga berkembang sampai ke Jepang dan korea. Tahun 754,
bhiksu Ch’ien Chen datang ke Nara – jepang mengajarkan Vinaya kepada para
bhiksu jepang. Sekte Vinaya ini adalah aliran Mahayan yang didirikan di
Tiongkok.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti H.A. Agama-Agama Di Dunia,
Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998. Desa Kausalya karma sutra (Dharma
Pitaka), Bogor-Jawa Barat 2008
Kebahagiaan Dalam Dhamma, Jakarta: Majelis
Buddha Mahayana Indonesia.
Conze,Prof. Buddhist Thought in
India: T.R.V.Murti, 1995
0 komentar:
Posting Komentar