Pendahuluan
Ajaran yang disampaikan kepada manusia oleh Buddha sangat
erat hubungannya dengan agama-agama yang ada sebelumnya, oleh karena itu ajaran
Buddha merupakan faham yang bertujuan untuk mereform atau memperbarui ajaran
Hinduisme dimana pendeta-pemdetanya saat itu sangat berperan dalam kehidupan
masyarakat. Ajaran Buddha mengandung background social-religius pada
saat itu. Nama Buddha itu sendiri menunjukan arti “seorang yang bangun atau
yang disadarkan” untuk mengadakan reformasi tradisi agama yang telah ada.[1]
Pengertian
Buddha, Dharma, dan Triratna
·
Pengertian Buddha
Buddha berasal dari bahasa
sansekerta budh berarti
menjadi sadar, kesadaran sepenuhnya; bijaksana, dikenal, diketahui, mengamati
dan mematuhi. (Arthur Antony Macdonell, practical Sanskrit Dictionary,
Oxford University Press, London, 1965).
Tegasnya Buddha adalah seseorang
yang telah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna dan sadar akan
kebenaran kosmos serta alam semesta. “Hyang Buddha’’ adalah seorang yang telah
mencapai penerangan luhur, cakap dan bijak menuaikan karya-karya kebajikan dan
memperoleh kebijkasanaan kebenaran mengenai nirvana serta mengumumkan doktrin
sejati tentang kebebasan atau keselamatan kepada dunia semesta sebelum
parinirvana.
Hyang Buddha yang berdasarkan
sejarah bernama Shakyamuni pendir Agama Buddha. Hyang Buddha yang
berdasarkan waktu kosmik[2]
ada banyak sekali dimulai dari Dipankara Buddha.[3]
·
Pengertian Dharma
Hukum kebenaran, Agama, hal,
hal-hal apa saja mengenai agama Buddha. Berhubungan dengan ajaran agama Buddha
sebagai agama yang sempurna.
Dharma mengandung 4 (empat) makna utama:
1.
Doktrin
2.
Hak, keadilan,
kebenaran
3.
Kondisi
4.
Barang yang
kelihatan atau phenomena
Buddha
Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan
pandangan terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau
kegelapan batin dan unsure-unsur agama,
kebaktian, filosofis, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susial,
etika dan sebagianya.
·
Triratna
Seorang telah menjadi umat Buddha
bila ia menerima dan mengucapkan Triratna (Skt) atau tiga mustika (Ind) yang
berarti Buddha, Dharma, Sangha. Pada saat sembahyang atau kebaktian didepan
altar Hyang Buddha. Triratna secara lengkap diucapkan dengan tenang dan khusyuk
sampai tiga kali atau disebut trisarana. Trisarana adalah sebagai berikut:
Bahasa Sansekerta
Buddhang Saranang
Gacchami
Dharmang
Saranang Gacchami
Sanghang
Saranang Gacchami
Dwipanang
Buddhang Saranang Gacchami
Dwipanang
Dharmang Saranang Gacchami
Dwipanang
Sanghang Saranang Gacchami
Tripanang
Buddhang Saranang Gacchami
Tripanang
Dharmang Saranang Gacchami
Tripanang
Sanghai Saranang Gacchami
Bahasa Indonesia:
Aku Berlindung
kepada Buddha
Aku
Berlindung kepada Dharma
Aku
Berlindung kepada Sangha
Kedua
kali Aku Berlindung kepada Buddha
Kedua
kal Aku Berlindung kepada Dharma
Kedua
kali Aku berlindung kepada Sangha
Ketiga
kali Aku Berlindung kepada Buddha
Ketiga
kali Aku Berlindung kepada Dharma
Ketiga
kali Aku Berlindung kepada Sangha[4]
Jadi dalam kesaksian tersebut, nampak adanya sikap
peneyerahan diri kepada Buddha, kepada Dharma (hukum-hukum yang telah diberikan
oleh Budha) dan kepada sangha yaitu golongan pendeta yang hidupnya memelihara
kelangsungan upacara agama yang pada umumnya tinggal dibiara-biara.
Pengakuan
pada Dharma berarti mempercayai kebenaran hukum-hukumnya dengan kewajiban
menjalankan dasar-dasar ajaran kelepasan hidup serta peraturan-peraturan
lainnya. Dasar-dasar
ajaran kelepasan tersebut adalah yang disebut Arya- satyami (Arya: utama
Satyami : kebenaran yang terdiri dari 4 kenyataan hidup sebagai berikut:
1)
Bahwa dalam kehidupan di dunia ini penuh dengan hal-hal
yang menyedihkan dan kesengsaraan, maka disimpulkan bahwa hidup itu menderita.
2)
Bahwa manusia berada oleh karena mempunyai nafsu
keinginan untuk berada (hidup). Keadaan hidupnya itu adalah penderitaan karena
terikat oleh samsara (menjelma berkali-kali).
3)
Jika tidak lagi punya nafsu keiginan: maka penderitaan
samsara dapat dihilangkan yaitu dengan memadamkan nafsu keinginan tersebut
(tresna).
4)
Cara menghilangkan nafsu keinginan itu ialah melakukan 8
jalan kebenaran (disebut dengan Astavidha) yang terdiri dari:
a.
Mengikuti pelajran yang benar.
b.
Melaksanakan niat (keinginan) yang baik.
c.
Mengucapkan perkataan yang baik dan tepat.
d.
Menjalankan usaha yang baik (halal).
e.
Melakukan pekerjaan yang baik.
f.
Memusatkan perhatian dengan baik.
g.
Mencari nafkah dengan baik.
h.
Melakukan tafakur dengan baik.
Dengan dasar Aryasatyami tersebut dapat diketahui bahwa
agama Buddha mendidik pengikut-pengikutnya untuk berhati-hati serta
bersungguh-sungguh dalm menjalankan suatu kewajiban atau pekerjaan mengingat
bahwa dunia sekitar manusia ini dianggap penuh dengan hal-hal yang dapat
mencelakakan karena ada 3 anasir keduniawian:
1)
Adanya Kama, yakni nafsu cinta.
2)
Adanya Dwesa, yakni rasa benci kepada orang lain.
3)
Adanya Moha, yakni mabuk (dalam segala bentuknya)
Untuk menegakan Dharma, maka pengikut-pemgikut Buddha
pada umumnya wajib menjauhi larangan-larangan dalam hal-hal sebagai berikut:
1)
Dilarang melakukan pembunhan terhadap semua makhluk
(misalnya peperangan dan sebagainya).
2)
Dilarang melakukan pencurian atau perampokan atau
penyerobotan dan sebagainya.
3)
Dilarang melakukan perbuatan asusila, misalnya
perzinahan.
4)
Dilarang meminum, minuman yang memabukan (minuman keras).
Adapun
kewajiban khusus para anggota Sangha (orde pendeta) selain lima macam tersebut
diatas ditambah lagi dengan 5 macam larangan yaitu:
1)
Dilarang makan dan
minum diwaktu yang dilarang (misalnya waktu berpuasa).
2)
Dilarang mendatangi
tempat-tempat yang dipergunakan untuk hidup makisat (misalnya tempat hiburan,
pertunjukan-pertunjukan).
3)
Dilarang menghias
diri (misalnya dengan pakaian baik memakai hiasan emas, belian dll)
4)
Dilarang tidur
diatas tempat tidur yang baik.
5)
Dilarang menerima
hadiah-hadiah yang berupa uang dan lain-lain benda berharga.
Sepuluh larangan
tersebut kemudian disebut dengan “DASA SILA” (10 dasar).[5]
Pengertian
Sadha dan Panca Sadha
a.
Kata
Saddha adalah sebutan dalam bahasa Pali atau sradha sebutan dalam bahasa sansekerta.
Arti kata Saddha atau Sradha
ialah keyakinan atau kepercayaan-Benar (confident).
b.
Dalam ajaran agama
Buddha, sesungguhnya menekankan suatu kepercayaan yang ditimbulkan oeh suatu
yang nyata. Inilah yang disebut dengan Saddha. Atau dapat diartikan sebagai
keyakinan yang telah mencakup pengertian percaya di dalamnya.
Jadi kata Saddha itu, dapat juga
diartikan sebagai:
1)
keyakinan
2)
kepercayaan-Benar
3)
keimanan
dalam Bakti
c.
saddha bukanlah
suatu kepercayaan yang membuta, melainkan suatu kepercayaan yang dimiliki para
siswa dalam sekolah menengah, dimana siswa-siswa yakin akan adanya atom dan
molekul. Tetapi mereka tidak dapat membuktikannya. Mereka terima itu karena
percaya pada para sarjana yang menguraikannya. Tetapi kepercayaan uni tidak
dapat disebut kepercayaan membuta. Di perguruan tinggi atau Universitas mereka
mendapat kesempatan untuk melakukan percobaan untuk menguji kebenaran teori
ilmu alam dan kimia tadi.
Demikian pula siswa agama Buddha
pada tingkat permulaan yakin akan kebenaran beberapa ajaran Dhamma yang mereka
dengar dari guru agamanya. Tapi setindak demi setindak dalam perjalanan mereka
diatas jalan yang ditunjuk YMS Buddha Gautama akan membawanya pada kebenaran ajaran
Dhamma yang tiada bandingnya.
Saddha Mengandung Tiga Unsur
Salah seorang pujangga Buddhis yang terkemuka, yang hidup
abad ke IV bernama Asanga dan telah mengatakan bahwa Saddha itu mengandung tiga
unsure yaitu:
1)
keyakinan kuat
terhadap sesuatu hal.
2)
Kegembiraan
mendalam terhadap sifat-sifat yang baik.
3)
Harapan memperoleh
sesuatu di kemudian hari.
Bedanya Kepercayaan dengan Saddha
a)
Persoalan
kepercayaan akan timbul bilamana kita dapat melihat sesuatunya dengan betul dan
nyata.
Pada saat kita melihat, persoalan
kepercayaan itu tidak aka nada lagi. Bila saya katakana kepada anda bahwa
menyembunyikan sebuah mustika di telapak tangan yang saya genggam, persoalan
kepercayaan akan segera timbul, sebab anda tidak melihatnya denga mata anda
sendiri. Tetapi bila saya buka genggaman tangan tadi dan memperlihatkannya
mustika itu kepada anda, maka persoalan kepercayaan itu tidak akan timbul.
Dalam hubungan ini teringatlah
kita kepada sesuatu pepatah kuno penganut Buddha yang berbunyi sebagai berikut:
“Mengalami
sendiri seperti orang melihat satu mustika di telapak tangan”.
b)
Persoalan Saddha
akan timbul bilamana kita dpat melihat sesuatunya dengan betul dan nyata.
Tetapi haruslah diingat bahwa Saddha ini bukanlah suatu kepercayaan seperti
yang di mengerti orang pada umumnya.[6]
Panca Saddha (Lima Keyakinan umat
Buddha)
1) Keyakinan Terhadap Sang Hyang Adhi Buddha, Para Buddha
Tuhan dalam agama Buddha bukanlah hal yang baru, melainkan hal yang telah
lama di kembangkan, sejak pada abad ke IV M dari Negara bagian Benggala, tempat
kota kelahiran Acarya Asangha.[7]
Pengaruh Tantra
menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang Adhi Buddha, yaitu Buddha yang
pertama, yang dipandang sudah ada pada
mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang tidak
pernah tampak karena berada di dalam Nirwana.
Hakikat Adhi Buddha adalah terang
yang murni. Ia timbul dari Sunyata, kekosongan. Dengan lima macam permenungan
(dyana) sang Adhi Buddha mengalirkan dari dirinya lima Buddha, yang disebut
dyani Buddha, yaitu wairocana, Aksobhiya, Ratnasambhawa, Amithaba, dan
Amoghasiddhi. Para dyani Buddha ini dipandang menguasai daerah-daerahnya
sendiri, yang disebut Buddha ksetra. Daerah-daerah itu ada yang digambarkan
seperti alam yang murni dan ada yang kurang murni, sesuai dengan tugas Dyani
Buddha masing-masing. Di dalam daerahnya masing-masing itu mengajarkan
Dharmanya kepada para makhluk dan menolong manusia untuk mendapat pencerahan.[8]
Diatas Panca Dyani Buddha yang memancarkan Bhodisatwa dan
manusia Buddha tersebut terdapat sesuatu
yang tertinggi, permulaan yang tanpa ada yang mendahuluinya, yaitu yang disebut
Adhi Buddha, atau Tuhan Yang Maha Esa Menurut kepercayaan aliran Mahayana.
Hubungan Dyani Buddha, Bhodisatwa dan Buddha dunia
tersebut sangat erat dan membentuk kelompok yang mempunyai tugas
sendiri-sendiri dipenjuru dunia sesuai dengan arah mata angin dan masa
masing-mmasing ketiganya terkait menjadi satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan,
sebagaimna digambarkan dengan sangat jelas pada patung Bhodisatwa
avalokatisvara di Candi Mendut. Dalam kepercayaan
aliran Mahayana, jumlah Dyani Buddha, Bhodisatwa dan manusia Buddha ada lima.
Masing-masing kelompok bertempat di salh satu penjuru dunia, sesuai dengan arah
mata angin, dan salah satu Buddha bertempat di titik pusatnya. Mereka berada
dan bertugas dalm salah satu masa
diantara masa-masa yang jumlanya juga ada lima. Untuk masa sekarang, yang
bertanggung jawab adalah Dyani Buddha, Amitabha, Bhodisatwa avalokatiswara, dan
Manusia Budha Gautama.
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa doktrin
Adhi Buddha dalam aliran Mahayana merupakan doktrin yang berusaha yang
mempersonifikasikan konsep kebuddhaan sebagai Tuhan atau persembahan tertinggi.
Doktrin
ini sangat berbeda dengan konsep ketuhanan agama Buddha yang mula-mula, seperti
yang dipertahankan aliran Theravada atau Hinayana.[9]
Sebagaimana kita ketahui, banyak agama-agama didunia ini memfokuskan
perhatiannya terhadap pemujaan kepada Tuhan dan makhluk-makhluk suci lainnya,
namun para umat Buddha di dunia telah memfokuskan pada tokoh Buddha atau
Sidharta Gautama—seorang manusia yang menemukan bagaimana membawa pencerahan
dari penderitaan dan keluar dari lingkaran hidup dan mati. Cara umat Buddha
untuk berhubungan dengan Buddha adalah melalui penghormatan, sebagaimana orang
lain dapat memuja kekuatan-kekuatan diluar alam atau dewa-dewa yang mereka
yakini dapat memberikan pertolongan kepadanya dan sanak keluarganya.[10]
Ajaran agama Buddha bertitik
tolak dari kenyataan yang dialami manusia dalam hidupnya. Ajaran tidak di mulai
dari prinsip yang transcendent, yang mempersoalkan tentang Tuhan dan hubngannya
dengan alam semesta dan segala isinya, melainkan dimulai dengan menjelaskan
tentang dukha yang selalu menyertai hidup manusia dan cara membebaskan diri
dari dukha tersebut. Dalam beberapa naskah pali dan sansekerta disebutkan bahwa, sang Buddha selalu diam
apabila ditanya oleh pengikutnya tentnag Tuhan, ia menolak dan tidak
mempersoalkan tentang Tuhan, melainkan selalu menekankan pada para pengikutnya
agar mempraktekan sila ketuhanan. Sepeninggal Buddha persoalan Tuhan juga bukan
merupakan persoalan yang dianggap sangat penting dan mendesak dibicarakan dalam
pasamuan agung pertama dan kedua. Masalah yang sangat penting yang dibicarakan
dalam dua kali pasamuan itu adalah mengenai Dharma dan Vinaya. Kedua masalah
inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya beberapa mazhab besar dalam kalangan
umat Buddha.
Sekalipun demikian, benih-benih ajaran tentang Tuhan dalam agama Buddha dapat
ditelusuri dari adanya perbedaan pemahaman tentang tingkat-tingkat keBuddhaan
yang mulai muncul pada pasamuan agung kedua di Vaisali. Aliran Staviravada yang
ortodoks menekankan bahwa tingkat-tingkat kebuddhaan adalah buah dari usaha
yang tekun dalam menjlankan ajaran Sang Buddha, sedangkan Mahasanghika
menekankan bahwa benih-benih kebuddhaan telah ada pada setiap makhluk dna hanya
menunggu diwujudkan dan dikembangkan.[11]
Bikkhu CHANDRAKIRTI, seorang
Bhikkhu Indonesia, pada abad ke-X M telah menulis naskah “NAMASANGITI” yang membahas
tentang sifat-sifat dari pada sanghyang Adhi Buddha. Naskah tersebut adalah
sebagai pengungkapan kembali tentang naskah lama abad ke-IV M yang di prakarsai
oleh Bhikkhu Acarya Asangha dari Bengalora, pendiri dari aliran Yogacara. Dari
beliaulah lahirnya doktrin “ADHI BUDDHA” ; sebagai pendalaman ajaran Mahayana
yang telah di beri landasan oleh Bhikkhu Asvaghosa, yang pada mulanya berasal
dari seorang Brahmana, ahli Veda.
Naskah Theisme dalam agama Buddha juga telah diperkenalkan pula dalam
naskah-naskah di Indonesia, diantaranya dalam naskah “KUNJARAKARMA” dari Kediri
dan naskah SANGHYANG KAMAHAYANIKAN karya Mpu Sri Warana Sambhara Surya dari
kerajaan Wangsa ICANA (sendok). Dalam naskah
terakhir ini, nama lain dari Adhi Buddha adalah Bhatara Buddha.
Istilah Adhi Buddha digunakan untuk menamakan sumber
kebuddhaan dan istilah ini ditemukan di
Indonesia maupun Nepal dan Tibet.[12]
Kemaha kuasaan Sanghyang Adhi Buddha dimanifestaskan kedalam
hukumnya yang disebut hukuum Kasunyataan. Hukum Kasunyataan ini adalh hukum Tuhan YME, yang kekal
abadi, yang mengatasi waktu, tempat dan keadaan.
Semua yang tercipta tunduk kepada hukum Kasunyataan ini, dan tidak ada
seorangpun yang dapat membebakan dirinya dari berlakunya hukum kasunyataan ini.
Melalui hukum Kasunyataan inilah Tuhan
YME memperkenalkan kekyasaannya dan tidak ada yang aka mampu menentang hukum
Kasunyataan ini, baik ia seorang manusia ataupun dewa, terkecuali orang yang
telah mencapai kebebasan mutlak (Nibbana).[13]
Bukan sejarah tertarik untuk membicarakan sang Buddha, umat Buddha sendiri
juga banyak membicarakan tingkat-tingkat kebuddhaan. Umumnya mereka berbeda
dalam hla memandang tingkatan kebuddhaan tersebut. Pembicaraan tentang tingkat
kebuddhaan ini sudah mulai muncul pada pasamuan agung kedua di vaisali. Aliran
Staviravada yang ortodoks melihat bahwa tingkatan-tingkatan kebuddhaan adalah
buah dari usaha yang tekun dalam menjalankan ajaran-ajaran Buddha, sedangkan
menurut aliran Mahasanghika menekankan bahwa benih-benih kebuddhaan telah ada
pada makhluk dan hanya menunggu untuk di wujudkan dan di kembangkan (Abdurahman
1988; 114-115).[14]
Mengenai
para Buddha, terdapat 27 Buddha-Buddha yang terdahulu yaitu:
1.
Tahankara
2.
Medhankara
3.
Saranankara
4.
Dipankara
5.
Kondana
6.
Mangala
7.
Sumana
8.
Revata
9.
Shobitha
10. Anomadasi
11. Paduma
12. Narada
13. Padumutara
14. Sumedha
15. Sujata
16. Piyadasi
17. Attadasi
18. Dhamadasi
19. Sidhattha
20. Tissa
21. Phussa
22. Vipasi
23. Sikhi
24. Veshabu
25. Kakusandha
26. Konagamana
27. Kassapa
Buddha
Gautama adalah Buddha yang terakhir atau yang ke 28
Buddha yang
akan datang adalah ialah Bhodisatwa Maitreya, yang berarati : “yang penuh kasih
sayang”.
Semua Buddha
mengajarkan ilmu yang sama yaitu Dhamma atua Kasunyataan dan kebajikan untuk
kebebasan mutlak dari penderitaan, Nibbana.
Baik dalam
aliran Hinayana maupun aliran Mahayana, kedua-duanya mengajarkan pelajaran dan
tujuan yang sama, hanya mungkin upacara-upacara keagamaannya yang berbeda-beda.[15]
2)
Bhodisatwa
dan arahat
Bhodisatwa
Secara harfiah Bhodisatwa berarti orang yang hakikat atau
tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna. Sebelum Mahayana timbul,
penegrtian Bhodisatwa sudah dikenal juga, dan dikenalkan juga kepada Buddha
Gautama, sebelum ia menjadi Buddha. Disitu Bodhisatwa adalah orang yang sedang
dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan
menjadi Buddha. Jadi semula Bhodisatwa adalah sebuah gelar bagi tokoh yang
ditetapkan untuk menjadi Buddha. Didalam Mahayana Bhodisatwa adalah orang yang
sudah melepaskan dirinya dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih
pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bhodisatwa
bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja melainkan juga turut
merasakannya dengan berat. Oleh karenanya
sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan segala aktivitasnya
sekarang dan kelak guna keselamatan dunia. Karena kasihnya pada dunia maka
segala kebajikannya dipergunakan untuk menolong orang lain.
Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana ialah untuk menjadi
Bhodisatwa. Cita-cita ini berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu
untuk menjadi arhat, yaitu orang yang sudah berhenti keinginanya,
ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada
kelahiran tumimbal kembali. Seorang arhat hanya memikirkan kelepasan diri
sendiri[16]
Dengan daya pengetahuan dan permenungan para Dyani
Bhuddha melahirkan lima Bhidisatwa, yang disebut dyani Bhodisatwa, yaitu
wairocana melahirkan Samantabhadra, Aksobhiya melahirkan Wajrapani,
Ratnasambhawa melahirkan Ratnapani, Amithaba melahirkan padmapani atau
Awalokiteswara, dan Amoghasiddi melahirkan Wispapani. Para
Dyani Bhodisatwa ini adalh para pencipta alam bendani. Dunia yang mereka
jadikan dapat binasa. Ada tiga yang sudah binasa. Dunia yang sekarang adalah
dunia yang ke empat, hasil karya awalokiteswara, yang memiliki Amithaba sebagai
pelindungnya.[17]
Arahat
Permulaan agama Buddha menanamkan ide rangkap mengenai
arhatva dan nirvana. Buddha Gautama mengajarkan kepada murid-muridnya yang
pertama kai dengan khotbah enpat Kasunyataan Mulia dan Delapan jalan utama
serta menekankan pada ketidak-kekalan dan tiada kepemilikan dari semua unsur
pokok mengenai pribadi manusia. Para sisiwa ini dipanggil arhat, dan Buddha
sendiri diuraikan sebagia seorang arhat. Konsepsi mengenai arahat dikembangkan
dan diperinci secara perlahan-lahan oleh guru dan penggantinya. Jadi seorang arahat
juga diharuskan menegerti formula mengenai duabelas nidanas (sebab-akibat). Dia
ditetapkan sebagai seorang yang telah mencabut tiga asravas (asava = minuman
keras, dosa, dan kesalahan dari keinginan akan rasa, suka akan yang ada, dan
ketidak tahuan, dan juga tambahan ke-empat asrava mengenai pikiran yang
spekulasi. Dia melatih tujuh faktor penerangan (shambojjhanga): kesadaran,
penelitian, energi, kesenangan, ketenangan, konsentrasi, dan ketenangan hati.[18]
Arhat juga menjadi cita-cita tertinggi dari aliran
Hinayana, yaitu orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidak tahuannya, dan
sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukan lagi pada kelahiran kembali.[19]
Seorang arahat yang
telah terbebas, mengetahui dia tidak akan telahir kembali. Dia telah menyelesaikan
dengan baik apa yang dikerjakan. Dia telah melepaskan bebannya. Dia hidup pada
kehidupan suci. Dia mencapai kebersihan-kemurnian dan akhir emansipasinya dari
pikiran hati. Dia sendiri, menyendiri, bersemangat, bersungguh-sungguh,
menguasai dirinya sendiri.
Seorang arhat
seperti itu juga pergi sebagai pengkhotbah dan mengajarkan ajaran Buddha kepada
orang-orang. Gurua itu sangat menganjurkan kepada para siswanya untuk pergi
berkelana dan berkhotbah kebenaran demi kebaikan dan pembebasan untuk orang
banyak, karena dia mengasihi teman-temannya semakhluk dan menaruh kasihan
kepada mereka.
Hal seperti itu
adalah ide arahat itu, sebagaimana dimengerti selama tiga abad setelah Buddha
Gautama parinibana.
Tetapi nyatanya
bahwa para bhikku agama Buddha mulai mengabaikan aspek pentng tertentu dari
pada itu dalam abad ke-2 SM, dan menekankan beberapa Tugas terhadap pengeluaran
dari pada yang lainnya. Mereka menjadi lebih mementingkan diri dan tafakur, dan
tidak menunjukan dengan jelas semangat lama itu demi tugas mengajar dan
mneyebarkan agama atau misionari di antara manusia. Mereka nampaknya hanya
memperhatikan demi pembebasan bagi mereka sendiri dari dosa dan duka. Mereka
tidak membedakan terhadap tugas untuk mengajar dan membantu semua makhluk
manusia.
Ajara Bhodisatwa
diumumkan secara resmi oleh beberapa pemuka agama Buddha sebagai suatu protes
terhadap kekurangan dari semangat spiritual yang benar ini dan altruism (sifat
mementingkan kepentingan orang lain) di antara para bhikku pada waktu itu.
Kedinginan dan kejauhan dari para arahat itu menunjukan suatu pergeseran yang
sesuai dengan ajaran lama mengenai menyelamatkan semua makhluk. Ide Bhodisatwa
dapat dimengerti hanya menantang latar belakang ini mengenai seorang saleh dan
tenang, namun tidak aktif dan golongan viharawan atau viharawati yang tidak
cekatan.[20]
Kesimpulan
Tidak dapat dikatakan bahwa di dalam ajaran agama Buddha
seperti yang terdapat di dalam kitab-kitab Pitaka terdapat ajaran tentang Tuhan
atau tokoh yangn di pertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada
asalanya, yaitu Tuhan, melainkan untuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu
suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan, tanpa kesadaran,
suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai.
Oleh karena itu maka ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui,bahwa
Bhuddisme adalah suatu agama. Bhuddisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal
manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai
sebab dan akibat.
Akan tetapi kami kira pendapat yang demikian itu adalah
keliru. Memang, harus di akui, bahwa sebutan Tuhan atau tokoh yang
dipertuhankan tidak ada. Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam,
bukan tokoh yang memadamkan. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada
dibelakang suasana damai itu.
Tidak ada gagasan tentang pemebri hukum, yang ada adalah
hukum, tata tertib (karma) baik yang alamiah maupun yang moril. Tiada gambaran
tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, di belakang
segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang
dipertuhan tadi.
Dilihat dari keyakinan Kristen dapat dikatakan, bahwa
Buddha Gautama meraba-raba dan mencari kepada “Yang Tidak Jauh dari padanya”.
Berdasarkan kenyataan bahwa didalam ajaran Buddha manusia rindu akan
kelepasannya serta mencari-cari kan “Yang tak dilihatnya” dapat dikatakan,
bahwa Buddhisme adalah suatu agama, denganya manusia berusaha mencari Tuhanya.
Tuhan atau tokoh yang dipertuhan terdapat juga didalamnya.
Hanya Tuhan itu sukar ditemukan. Tokoh itu dikaburkan
menjadi sesuatu yang tak berpribadi. Itulah sebabnya tidak ada hubungan
aku-Engkau antara manusia dengan yang dipertuhan. Tetapi bagaimanapun Bhudisme
adalah suatu ajaran kelepasan, suatu ajaran yang ingin membawa manusia pada
jalan kelepasan karena merasa bahwa hidup ini tidak bebas.[21]
Daftar
Pustaka
Arifin
M.Ed, H.M., Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, Jakarta: PT Golden Press,
1995.
Ali,
Mukti H.A., Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
Hadiwijono,
Harun., Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010.
Kebahagiaan
Dalam Dhamma, Jakarta: Majelis Buddha Mahayana Indonesia
T,
Suwarto., Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Indonesia,
1995.
Tanggok,
M Ikhsan., Agama Buddha, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
[2] Waktu kosmik adalah kalpa. Satu kalpa adalah
suatu periode waktu yang sangat lampau
yaitu 4326 juta tahun.
[3]
Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha
Indonesia-Jakarta 1995)cet 1 hal 50
[5]
Prof. H.M. Arifin M.Ed “Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar” hal 96-99
[6]
“kebahagiaan Dalam Dhamma” (Majelis Buddhayana Indonesia) hal 15-16
[7]
“kebahagiaan Dalam Dhamma” (Majelis Buddhayana Indonesia) hal 337
[8]
Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha” (Gunung Mulia-Jakarta 2010)cet17
hal 94-95
[9] H.
A. Mukti Ali. “Agama-Agama Di dunia” (IAIN Sunan Kalijaga
Press-Yogyakarta1988)cet 1 hal 120-121
[10]
M. Ikhsan Tanggok. “Agama Buddha” (Lembaga Penelitian UIN Jakarta, Ciputat Jak Sel. 2009) cet 1 hal. 33
[11]
H. A. Mukti Ali “Agama-agama di Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta.
1988) cet 1. Hal 114-115
[12]
”Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 337-339
[13]
”Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 341
[14] M. Ikhsan Tanggok ‘’Agama Buddha” hal42
[15] “Kebahagiaan Dalam Dhamma” hal 336
[16]
Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha” (PT BPK Gunung Mulia-Jakarta
2010) cet 17 hal91-92
[17]
Dr. Harun Hadiwijono “Agama Hindu dan Buddha”hal 95
[18] “Buddha Dharma Mahayana” hal 131
[19] Harun Hadiwijono. Hal 91
[20]
Dr. Suwarto T. “Buddha Mahayana” hal132-133
[21] Harun Hadiwijono ‘’Agama Hindu dan
Buddha”hal101-102
2 komentar:
warna fontnya hitam ? pls, gakeliatan -_-
Antara larangan kepada penganut buddha adalah : "Dilarang meminum, minuman yang memabukan (minuman keras)".
Tetapi kenapa terlalu banyak sami buddha yang minum arak? Sementelah lagi terlalu penganut buddha yang minum arak.
Pendeta juga Dilarang tidur diatas tempat tidur yang baik - Kenapa salah seorang pembesar Buddha Indonesia Hartati Murdaya tinggal di banglo di Jakarta Pusat yang pastinya mempunyai tempat tidur yang baik?
Posting Komentar